SOLOPOS.COM - Ketua Klaster Jamu Seruni Putih, Murjiyati, 53, menunjukkan produk jamu di Dukuh Kiringan, Desa Canden, Kecamatan Jetis, Bantul, DIY, Jumat (9/6/2023). (Solopos.com/Moh. Khodiq Duhri)

Solopos.com, BANTUL – Sejak 1950-an, Dukuh Kiringan, Desa Canden, Kecamatan Jetis, Bantul, DIY, sudah dikenal sebagai sentra minuman jamu. Siapa sangka, tradisi meramu dan menjual jamu secara keliling di Dukuh Kiringan kini telah memasuki generasi keempat.

Sebuah gapura bertuliskan Desa Wisata Jamu Kiringan berdiri kokoh di ujung jalan menuju Dukuh Kiringan. Di dukuh ini terdapat 132 warga yang puluhan tahun menekuni pekerjaan sebagai peramu sekaligus penjual jamu secara keliling.

Promosi Telkom Dukung Pemulihan 82,1 Hektare Lahan Kritis melalui Reboisasi

Mereka meneruskan tradisi meramu jamu yang lebih dulu dilakukan oleh nenek buyut mereka. Disebut nenek buyut karena tradisi jualan jamu di dukuh ini lebih identik dilakukan oleh para ibu rumah tangga. Sementara para suami di dukuh ini lebih banyak bekerja sebagai petani.

Pada era 1950-an, jamu dari Dukuh Kiringan dijual keliling dari satu kampung ke kampung lain dengan cara digendong menggunakan senik atau tenggok dari anyaman bambu. Sekarang, jamu dijajakkan keliling dengan sepeda motor yang dilengkapi dengan payung sebagai pelindung dari panas mentari.

“Kalau pagi kami semua berangkat jualan jamu. Kami jalan iring-iringan seperti gerombolan burung yang keluar dari sangkar untuk mencari makan,” ujar Ketua Klaster Jamu Seruni Putih Dukuh Kiringan, Murjiyati, 53, saat ditemui wartawan di kampung setempat, Jumat (9/6/2023).

Murjiyati merupakan satu dari 132 peramu dan penjual jamu di Dukuh Kiringan. Ia merupaan generasi ketiga yang bekerja sebagai peramu jamu. Ia belajar langsung dari ibu dan neneknya untuk membuat jamu. Kini, anak Murjiyati, Rizki, juga meneruskan pekerjaan orang tuanya sebagai peramu sekaligus penjual jamu. Rizki menjadi generasi keempat yang melestarikan tradisi sebagai peramu dan penjual jamu di keluarganya.

“Saya ini hanya lulusan SD. Saya hanya pintar membuat jamu. Dari jamu, saya bisa membiayai sekolah anak saya sampai kuliah hingga bisa bekerja sebagai perawat sekaligus jadi penjual jamu,” kata Murjiyati.

Sejak 2013, Murjiyati sudah beberapa kali mengakses Kredit Usaha Rakyat (KUR) total senilai lebih dari Rp500 juta melalui BRI. Rata-rata para penjual jamu di Dukuh Kiringan juga mengakses modal dari KUR BRI. Jumlah modal yang mereka akses bervariasi mulai dari Rp10 juta hingga Rp75 juta. Kebanyakan modal usaha itu dipakai untuk membeli kendaraan yang dipakai untuk menjajakkan jamu secara keliling. Ada pula yang digunakan untuk membeli mesin penggiling ramuan jamu.

Murjiyati menjual berbagai jenis jamu seperti kunir asem, jahe merah, beras kencur, secang, temulawak dan lain-lain. Satu botol jamu siap minum ia jual Rp12.000. Ia biasa mangkal di dua tempat di Kecamatan Bantul, salah satunya di dekat Pasar Imogiri. Selama mangkal, pelanggan dia akan berdatangan untuk menghampirinya. “Biasanya dalam sehari saya bisa bawa uang [kotor] Rp700.000. Itu belum termasuk penghasilan dari jamu instan yang dijual online oleh anak saya,” terang Murjiyati.

Hampir semua pedagang jamu di Dukuh Kiringan sudah mengantongi izin Produk Industri Rumah Tangga (PIRT). Masing-masing memiliki merek dagang sendiri-sendiri. Mereka juga sudah mengantongi sertifikat halal. Dengan perizinan yang komplit, Murjiyati berkesempatan mengikuti berbagai pameran produk UMKM yang diselenggarakan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bantul. Ia juga berkesempatan mengikuti berbagai pelatihan mulai dari pemasaran, pengemasan, mem-branding produk dan lain-lain.

Kepala Dukuh Kiringan, Sujiatmi, 62, juga menjadi salah satu penjual jamu. Menurutnya, resep meramu jamu diturunkan oleh nenek buyut warga Dukuh Kiringan. Pada awalnya, hanya terdapat beberapa peramu jamu gendong pada 1950-an. Jumlahnya kemudian berkembang menjadi 60 pada era 1990-an. Hingga kini, total ada 132 penjual jamu di Dukuh Kiringan.

Saat gempa bumi melanda DIY dan Jateng pada 2006 lalu, cukup banyak penjual jamu di Dukuh Kiringan yang meninggal dunia. Untuk melestarikan tradisi meramu jamu di Dukuh Kiringan, Pemkab Bantul kemudian memfasilitasi pelatihan membuat jamu yang diikuti kalangan anak muda. “Alhamdulillah, minat generasi muda untuk meneruskan tradisi membuat jamu cukup besar. Mereka antusias mengikuti pelatihan. Total ada sekitar 23 kali pelatihan. Satu pekan dua kali pertemuan,” ujarnya.

Bahkan, ada beberapa pekerja pabrik yang memilih keluar dari pekerjaan untuk meneruskan usaha jualan jamu yang lebih dulu dilakukan orang tua mereka. “Saat saya tanya enak mana antara jadi pekerja pabrik dan jadi pedagang jamu, mereka hanya menjawab dengan senyuman. Yang jelas, jadi penjual jamu tidak terikat waktu dan aturan dari perusahaan. Pekerjaan ini bisa dilakukan sambil mengerjakan pekerjaan rumah, memasak hingga momong anak. Kalau kerja di pabrik, mereka biasa berangkat pagi, pulang sore,” papar Sujiatmi.

Sujiatmi menjelaskan sebagai klaster UMKM binaan BRI, ada banyak manfaat yang didapat warga sekitar. BRI telah menyelenggarakan sejumlah pelatihan yang bisa menambah wawasan dan penjualan produk jamu. BRI juga membangun gapura masuk dukuh bertuliskan Desa Wisata Jamu Kiringan. BRI juga pernah memberikan bantuan mesin penggiling jamu dan genset yang bisa dipakai warga saat menggelar hajatan. Bantuan Rp20 juta juga pernah diberikan BRI kepada para penjual jamu Dukuh Kiringan. Dana itu selanjutkan dibelanjakan untuk membeli sembilan unit blender dan 30 parut kelapa.

“Kami tak hanya menjual jamu secara keliling. Kami juga memasarkan produk jamu kemasan secara online melalui Shopee dan Lazada. Untuk menjualan online dikelola langsung anak-anak kami. Pesanan online lumayan ramai,” jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya