SOLOPOS.COM - Ilustrasi Energi Hijau (Solopos)

Solopos.com, SOLO — Penyesuaian harga bahan bakar minyak di Tanah Air hampir selalu diwarnai dengan gejolak. Setelah memberikan sinyal-sinyal berupa janji manis pemberian subsidi bantuan langsung tunai (BLT), akhirnya Pemerintah memutuskan untuk menyesuaikan harga BBM bersubsidi.

Sejarah perjalanan negeri kemudian mencatat, pemerintah mengetok palu penetapan harga BBM yang baru pada 3 September lalu. Sesuai prediksi banyak pihak, harga Pertalite disesuaikan atau dinaikkan dari Rp7.650 per liter menjadi Rp10.000 per liter. Pemerintah juga menyesuaikan harga Pertamax dari Rp12.500 per liter menjadi Rp14.500 per liter.

Promosi Kinerja Positif, Telkom Raup Pendapatan Konsolidasi Rp149,2 Triliun pada 2023

Selain Pertamax, harga Solar subsidi juga disesuaikan dari Rp5.150 per liter menjadi Rp6.800 per liter. Menurut Presiden Joko Widodo keputusan untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) merupakan pilihan terakhir pemerintah.

Menurut Presiden Jokowi, Pemerintah telah berupaya sekuat tenaga untuk melindungi rakyat dari gejolak harga minyak dunia. Akan tetapi, anggaran subsidi dan kompensasi BBM pada tahun 2022 telah meningkat tiga kali lipat dari Rp152,5 triliun menjadi Rp502,4 triliun. Ironisnya lebih dari 70 persen subsidi justru dinikmati oleh kelompok masyarakat yang mampu yaitu pemilik mobil-mobil pribadi.

Untuk meredam gejolak dampak kenaikan harga BBM tersebut Pemerintah lantas menyiapkan BLT BBM sebesar Rp12,4 triliun yang diberikan kepada 20,65 juta keluarga yang kurang mampu sebesar Rp150.000/bulan dan mulai diberikan pada bulan September selama 4 bulan.

Baca Juga: Zulhas Klaim Bahan Pokok Makin Stabil Saat BBM Naik

Pemerintah juga menyiapkan anggaran sebesar Rp9,6 triliun untuk 16 juta pekerja dengan gaji maksimum Rp3,5 juta/bulan dalam bentuk bantuan subsidi upah yang diberikan sebesar Rp600.000. Namun tampaknya upaya pemerintah itu tidak cukup berhasil meredam laju harga-harga kebutuhan pangan, tarif angkutan umum, hingga kemudian berkontribusi mendongkrak inflasi.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Agustus 2022 ini, RI mengalami deflasi sebesar 0,21 persen. Untuk inflasi tahunan sebesar 4,69 persen (year on year/YoY), sementara tingkat inflasi tahun kalender (Januari-Agustus) 2022 sebesar 3,63 persen.

Sementara itu jika dikaji lebih dalam, inflasi pangan bergejolak pada Agustus 2022 sebesar 8,93 persen secara tahunan (yoy), sementara inflasi tahun kalender (Januari- Agustus) 2022 sebesar 6,08 persen. Perlu diketahui, Bank Indonesia menargetkan inflasi pangan pada kisaran 5 persen di akhir tahun 2022 ini.

Namun tak hanya itu. Dampak kenaikan harga BBM juga menimbulkan risiko lain yakni gejolak sosial hingga geopolitik. Bisa dilihat, tak sampai sepekan setelah pengumuman harga baru BBM, aksi demonstrasi bermunculan di mana-mana yang digerakkan oleh mahasiswa hingga buruh. Besarnya risiko dampak kenaikan harga BBM pada dinamika kehidupan ekonomi sosial menjadi bukti tingginya ketergantungan masyarakat terhadap energi fosil ini.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mencatat bahan bakar minyak jenis Pertalite masih mendominasi dari seluruh jenis yang dikonsumsi masyarakat. Berdasarkan data realisasi 2021, konsumsi Pertalite sebesar 23 juta kiloliter (KL) dan merupakan BBM jenis bensin yang paling banyak dikonsumsi masyarakat.

Baca Juga: Dijual Rp14.500 per Liter, Segini Harga Asli Pertamax Tanpa Subsidi

Cadangan EBT Besar

Adapun, konsumsi Pertalite mencapai hampir 80 persen di antara BBM jenis bensin lainnya seperti Pertamax, Pertamax Turbo dan Premium. Pada tahun ini, konsumsi Pertalite diproyeksikan tetap pada kisaran 23 juta kiloliter (KL).
Itulah gambaran bahwa Indonesia konsumsi energi masih didominasi oleh energi fosil yakni minyak bumi, gas bumi, dan batubara. Sementara energi baru dan terbarukan (EBT) selama ini masih dianggap dan bersifat alternatif.

Padahal, selain cadangannya terus tergerus, ketidakstabilan harga, pembakaran energi fosil juga berdampak buruk pada alam karena melepaskan gas-gas, antara lain karbon dioksida (CO2), nitrogen oksida (NO2),dan sulfur dioksida (SO2) yang menyebabkan pencemaran udara seperti hujan asam, smog, hingga pemanasan global.

Karakteristik energi fosil yang tidak dapat diperbarui (unrenewable) dan mengalami deplesi, serta tingginya
ketergantungan terhadap bahan bakar fosil mengakibatkan kerentanan ketahanan energi nasional sejalan dengan semakin tingginya ketimpangan (gap) antara supply dan demand energi.

Salah satu jalan keluar untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil adalah dengan mengembangkan energi baru dan terbarukan (EBT). Mengingat, potensi sumber daya EBT di Indonesia masih cukup besar sehingga peluang pengembangannya juga masih terbuka lebar.

Menurut Dewan Energi Mahasiswa (DEM) Indonesia potensi energi primer Indonesia yang berbasis EBT sangat besar antara lain panas bumi atau geothermal. Indonesia memiliki cadangan geothermal mencapai 23,9 Gigawatt (GW) yang merupakan 40 persen cadangan geothermal dunia.

Namun sayang, kekayaan potensi geothermal Indonesia itu sejauh ini baru termanfaatkan tidak lebih dari 20 persen.
Studi dari Kementerian ESDM menyatakan bahwa potensi energi terbarukan yang besar adalah modal ketahanan energi nasional.

Baca Juga: Pemerintah Rebut Ruang Udara dari Singapura

Negeri ini memiliki potensi pemanfaatan energi terbarukan sebesar 417,8 GW yang berasal dari Samudera sebesar 17,9 GW; panas bumi sebesar 23,9 GW, Bioenergi sebesar 32,6 GW; tenaga bayu/angin sebesar 60,6 GW; tenaga hidro sebesar 75 GW; dan tenaga surya sebesar 207,8 GW.

Lantas apa yang menjadi hambatan pengembangan EBT di Indonesia?

Demi mendukung komitmen Indonesia dalam penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebagaimana tercantum dalam
Paris Agreement, Pemerintah Indonesia sebenarnya telah aktif mengembangkan kebijakan seputar EBT untuk menciptakan pembangunan berkelanjutan.

Sejauh ini, mayoritas pengembangan EBT masih dikelola oleh pemerintah yang terus berupaya untuk berupaya memenuhi komitmen dalam penurunan emisi dan menggerakkan transisi energi.

Menurut Direktur Konservasi Energi, L.N Puspa Dewi pada kegiatan Workshop Renewable Energy Shaping Roadmap To Be Preferred Bank In Renewable Energy Selasa (7/9/2022), Indonesia hingga 2021 berhasil menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) dari sektor energi sebesar 70 Juta Ton CO2e.



Besaran penurunan emisi GRK ini 104% dari target yang ditetapkan dan meningkat 108,6% dari capaian 2020.
Langkah ini perlu diapreasi meski banyak pekerjaan rumah yang juga butuh segera dikejar dan diberesi. Namun memang beberapa permasalahan dalam pengembangan EBT di Indonesia, antara lain terkait perizinan.

Ketidakjelasan peraturan ditambah panjangnya rantai perizinan seperti izin pinjam pakai kawasan hutan, izin lingkungan, dan izin prinsip dari Pemda disebut-sebut menjadi salah satu penghambat investasi pengembangan EBT di Tanah Air.

Permasalah kedua adalah terkait data potensi EBT yang belum sepenuhnya mutakhir. Jikalau pun ada data potensi EBT berpotensi tidak dapat direalisasikan seluruhnya disebabkan adanya sejumlah limitasi, seperti terbentur ketentuan peraturan perundang-undangan yang membatasi eksploitasi suatu kawasan. Selain itu keterbatasan kuantitas dan kapasitas sumber daya manusia (SDM) juga menjadi tantangan tersendiri dalam pengembangan EBT di negeri ini. Kendala yang cukup menghambat lain adalah masalah pendanaan atau insentif bagi pengembangan EBT yang sangat besar.

Baca Juga: Jadi Menteri PAN-RB, Harta Kekayaan Azwar Anas Capai Rp16,3 Miliar

Terkait perizinan, sebaiknya para pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah daerah hingga pusat duduk bersama menyamakan visi dan misi dalam mengikis hambatan yang mengganjal pada perizinan. Kalau bisa perizinan dibuat lebih sederhana, cepat, dan transparan.

Sementara data potensi EBT memang sangat penting bagi investor terutama investor asing untuk mengambil keputusan. Data potensi EBT juga pokok untuk digunakan pemerintah atau pemangku kebijakan sebagai rujukan dalam pembinaan dan pengawasan mulai dari awal hingga pengembangan. Untuk itu pemutakhiran data potensi EBT perlu dilakukan secara berkala bila perlu.

Hal ini juga erat kaitannya dengan peningkatan kapasitas SDM yang mumpuni. Perlu dipersiapkan road map pengembangan, pelatihan, hingga praktik di lapangan bagi tenaga-tenaga profesional untuk pengembangan EBT.
Selanjutnya terkait pendanaan, pemerintah harus lebih serius dan berani dalam memberikan pendanaan untuk pengembangan EBT. Kalaupun pemerintah masih kurang mampu, hal ini bisa dikejar dengan menggandeng pihak swasta dan investor.

Dengan rancangan yang tepat, grand design yang jelas, tak menutup kemungkinan para investor akan tertarik dalam pengembangan EBT. Hal yang paling penting adalah menumbuhkan menjaga political will dan tekad kuat untuk mengembangkan energi yang lebih bersih untuk negeri tercinta. Kita tidak boleh menyerah pada tantangan demi pengembangan EBT dan demi masa depan anak cucu bangsa.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya