SOLOPOS.COM - Pemilik Sanggar Ameldi, Johnny Silaswona (kiri) bersama istrinya memamerkan batik khas Papua buatannya di Tenant Solo Batik Musik Festival, Pemedan Mangkunegaran, Solo, Senin (3/10/2023). (Solopos.com/Dhima Wahyu Sejati)

Solopos.com, SOLO —Tak banyak yang tahu jika batik tidak hanya diproduksi di Jawa, melainkan juga di luar Pulau Jawa. Seperti batik yang diproduksi oleh Sanggar Ameldi di daerah Dok IV, Mandala, Distrik Jayapura Utara, Kota Jayapura, Papua, yang berhasil tembus pasar Australia.

Pemilik Sanggar Ameldi, Johnny Silaswona, menunjukkan berbagai motif batik yang sangat khas. Seperti motif tifa yang merupakan motif etnis dari Papua. Lalu ada motif bahari yang menggambarkan tentang pesisir pantai di Papua.

Promosi Telkom dan Scala Jepang Dorong Inovasi Pertanian demi Keberlanjutan Pangan

Lalu ada motif batik yang terinspirasi dari biota laut yang ada di teluk Teluk Humbold di Jayapura. Terlukis di kain itu seperti gurita, karang laut, ikan, sampai tulang ikan. Selain itu juga ada motif cendrawasih.

“Kami selalu terinspirasi dari alam, kerena lewat alam ini kita bercerita. Maka motif kita sering diambil dari flora, fauna, dan keindahan Papua,” kata dia ketika ditemui Solopos.com di Pura Mangkunegaran Solo, Senin (2/10/2023).

Motif batik produksi Sanggar Ameldi yang identik dengan alam Papua itu membawa pesan kuat untuk selalu menjaga lingkungan agar terus lestari. Teknik membuat batik yang digunakan Sanggar Almedi tidak jauh beda. Johnny menggunakan teknik tulis dan teknik cap. Dia mengatakan teknik tulis digunakan untuk mengerjakan motif khusus.

Namun lantaran proses pengerjaan dengan teknik tulis yang lama, dia juga memproduksi batik dengan teknik cap. Sedangkan alat-alatnya seperti canting cap dan lainnya, dia datangkan langsung dari Jawa.

“Hanya untuk mempercepat proses pengerjaan,” kata dia. Selebihnya, bahan yang digunakan juga kebanyakan didatangkan dari Jawa seperti lilin, warna remasol, sampai naphthol

Meski begitu dia juga memanfaatkan bahan alam untuk membuat pewarna alami. Salah satunya dari kulit pohon mangrove. Kulit pohon yang biasa tumbuh subur di pesisir pantai itu menghasilkan warna kecokelatan.

Kesehariannya, Sanggar Ameldi dibantu oleh sekitar 15 tenaga kerja yang kesemuanya masih berstatus sebagai pelajar. Di sanggar itu, para pelajar diajari cara membatik dengan teknik cap.

“Mereka biasanya sepulang sekolah belajar membatik, jadi sudah ada workshop. Tapi kalau tulis saya sendiri yang melakukan, sedangkan cap ada sendiri, pewarnaan sendiri, sampai pengerjaan lainnya. Jadi memang ada manajemen produksi yang harus diterapkan,” kata dia.

Johnny mulai mengembangkan Sanggar Almedi ke ranah bisnis pada 2018. Hingga produksi batiknya diminati konsumen lokal Jayapura sampai kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Solo, dan lainnya. “Sudah tersebar di seluruh Indonesia jadi saya tidak bisa sebut satu-satu,” kata dia.

Batik buatannya sudah menembus pasar Australia lewat ekspor melalui Yayasan Mutiara Hitam. Tentu dia berharap bisa melakukan ekspor ke negara-negara lain khususnya ke Eropa. 

Batik buatannya dijual dengan harga yang berbeda. Tergantung pada kerumitan motif. Untuk batik cap full motif dibandrol dengan harga Rp200.000/m sampai Rp250.000/m. Namun batik dengan motif renggang lebih murah yakni Rp150.000 sampai Rp200.000.

Sedangkan batik tulis dibanderol dengan harga Rp250.000 ke atas. Hal itu lantaran pengerjaan dengan canting lebih rumit dan memakan waktu yang lama.

Peminat batik Papua asal Jajar, Laweyan, Solo, Laily Makmurah, mengaku sengaja mendatangi tenant Solo Batik Musik Festival (SBMF) 2023, Senin hanya untuk membeli batik produksi Sanggar Ameldi.

“Pertama kali tahu ternyata ada batik dari Papua. Suka banget sih, Ya emang justru saya ke sini karena ada itu. Karena kalau batik Solo kan banyak banget. Nah kalau batik Papua kan baru kali ini saya tahu,” kata dia kepada Solopos.com, Senin.

Dia menyukai filosofi motif lantaran membawa pesan yang kuat tentang alam di sekitar Papua. Terlebih menurutnya motifnya memiliki ciri khas sendiri dan menjadi pembeda dari motif batik yang ada di Solo.

“Saya enggak pernah mau nawar, dapat Rp250.000 tadi mau dapat diskon tapi saya nolak. Itu sudah sangat murah kan udah dari Papua. Apalagi udah enggak ada ongkos kirimnya,” kata dia.

Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang, mengatakan bahwa industri batik merupakan bagian dari subsektor industri tekstil dan pakaian jadi yang memiliki peranan penting bagi perekonomian nasional. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) nilai ekspor batik pada 2022 tercatat mencapai US$64,56 juta yang bila dibandingkan dengan 2021 meningkat 35 persen yaitu US$46,24 juta. 

“Saat ini nilai ekspor batik dan produk batik dari Januari—April mencapai US$26,7 juta dan pemerintah menargetkan untuk mencapai US$100 juta pada tahun ini. Tentunya, terus-menerus kami tingkatkan perlahan tapi pasti,” kata Agus, dikutip Solopos.com dari Bisnis.com, Selasa (3/10/2023).

Dia menyebut strategi yang akan dilakukan untuk mencapai target tersebut adalah membangun tradisi memakai batik harus digalakkan oleh semua pihak. Mengingat, batik memiliki nilai seni yang sangat tinggi sehingga menjadi sarana berpakaian yang cocok untuk digunakan baik acara resmi dan kasual.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya