SOLOPOS.COM - Cucu pemilik Warung Soto Triwindu, Keprabon, Solo, Murwani, sekarang menjadi pengelola warung tersebut. Foto diambil Jumat (16/12/2022). (Solopos/Nova Malinda)

Solopos.com Stories

Solopos.com, SOLO — Bicara soal sejarah dan kebudayaan kuliner di Kota Solo, memang tak ada matinya.

Promosi Layanan Internet Starlink Elon Musk Kantongi Izin Beroperasi, Ini Kata Telkom

Ragam makanan diterima dengan baik di kota ini. Tak heran, Presiden Joko Widodo yang notabene warga asli Solo menjadikan penganan sebagai salah satu strategi andalannya dalam berpolitik, berupa diplomasi meja makan.

Bisnis kuliner di Kota Solo yang tumbuh pesat bahkan disebut sebagai salah satu penopang usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Roda perputaran ekonomi dari sektor ini cukup tinggi. Diprediksi terus meningkat seiring dengan banyaknya event di Kota Solo.

Kecintaan masyarakat pada kuliner Solo memang tak ada matinya. Sejumlah pencinta sate kambing Pak Manto Solo misalnya.

Pada Minggu (12/3/2023) lalu, pengunjung dari luar kota rela mengantre meskipun sisi dapur warung Pak Manto kebakaran pada Sabtu (11/3/2023) malam. Bahkan area dapur yang terbakar masih terlihat dipasangi garis polisi warna kuning.

Salah satu pelanggan yang antusias pada kuliner di Solo tersebut yakni, Sri Wulansih, 30, ia mengetahui kebakaran di Sate Kambing Pak Manto melalui media sosial.

Namun, karena ada informasi warung masih buka, ia tetap datang memesan sate buntel dan tengkleng kambing bersama tiga orang temannya.

“Tahu dari Instagram kalau kebakaran, tapi katanya tetap buka. Saya lagi pengin makan tengkleng. Memang sering ke sini [Warung Pak Manto], karena enak sesuai harganya,” terang Wulansih, saat ditemui Solopos.com beberapa waktu lalu.

Selain Pak Manto, sejumlah warung olahan kambing di Solo juga banyak diburu. Sate Mbok Galak misalnya, bahkan jadi langganan Presiden Joko Widodo dan sejumlah pejabat lain.

Kuliner khas di Solo lainnya yang juga melegenda yakni Soto Triwindu, Nasi Liwet, Cabuk Rambak, hingga Gudeg Ceker di depan SMA Negeri 1 Solo.

Solo seolah layak disebut lokasi perjamuan yang jadi incaran wisatawan untuk berburu makanan. Wisata kuliner Solo tak pernah tidur, sejak pagi sampai malam, mulai makanan tradisional hingga kekinian.

Maka, tak heran jika banyak yang bilang berlibur ke Solo dipastikan bakal kenyang selama 24 jam.

Akulturasi

Di Solo, makanan juga jadi ruang pertemuan kebudayaan.

Sebut saja Jawa-Tionghoa dalam semangkuk wedang ronde dan asle, juga bakmi di Pasar Gede, Penulis asal Tiongkok, Gong Wen dalam bukunya Lifestyle in China: Journey into China (2007) yang telah ditransliterasi dalam Bahasa Inggris oleh Li Ziliang – Zhao Fei Fei, dan Li Zhao Guo, menyebut wedang ronde sebagai makanan tradisional asal Tiongkok.

Ada sejak Dinasti Han, nama aslinya tangyuan dengan isian bola tepung ketan manis atau asin, dicampur dengan kacang, dan guyuran kuah manis.

Tangyuan merupakan bahasa metafora dari reuni keluarga yang biasa dikonsumsi pada tanggal 15 bulan 1 penanggalan Imlek saat festival Yuanxiao atau Festival Lampion.

Sampai di Indonesia, kudapan hangat ini dicampur dengan rempah khas tanah air mulai jahe, cengkeh, dan serai pada kuah.

Berdasarkan data berupa foto yang dimiliki Komunitas Sejarah Moeara-Solo, masyarakat Tionghoa menjajakan kudapan mirip wedang ronde sekitar tahun 1940an, di masa Hindia Belanda.

Pada foto hitam putih tersebut ada dua perempuan dengan sackdress dan pria mengenakan jas berdiri di sebuah toko wedang ronde yang juga menjual beragam kue.

Paguyuban Tionghoa Solo Khong Kauw Hwee Solo yang eksis di tahun 1918 dan 1953 merilis beberapa foto kegiatan dalam majalah komunitas mereka.

Salah satu kegiatannya adalah kursus memasak dan membuat kue pada medio 1952 dan 1953.

Pada perayaan ulang tahun yang dirangkum dalam buklet komunitas mereka, sejumlah toko kue dan unit usaha masyarakat Tionghoa turut memberikan selamat.

Di antaranya perusahaan Kembang Gula Tan djin Siang, Pabrik Limon di daerah Lodji Wetan, dan dua toko roti yang masih eksis sampai sekarang; Roti Ganep beralamat di Jl Tambaksegaran 54 Solo, serta Toko Roti Oen di Jalan Ketandan 33.



Sinolog dari Universitas Indonesia, Agni Malagina, saat diwawancara beberapa waktu lalu mengatakan hubungan antara makanan Tionghoa dan Jawa bukan lagi berdekatan. Keduanya telah berasimilasi, saling mengisi dan memiliki.

“Tionghoa ataupun Jawa jadi part of our identity. Enggak bisa lagi bilang kamu lian, aku others. Kuliner China dan Indonesia bukan lagi saling mempengaruhi, tapi saling membumbui,” terang Agni yang beberapakali melakukan penelitian soal budaya Jawa – Tionghoa.

Agni kemudian menyebut beberapa asimilasi kuliner Jawa-Tionghoa seperti bakmi, bacang, wedang ronde, tahu, tempe, hingga bakpia. Bahkan bakpia yang bernama asli tou luk pia menjadi makanan khas Yogyakarta.

Agni menyebut, sebagai pendatang, etnis Tionghoa memang cenderung berjiwa survival. Akhirnya mereka banyak menyesuaikan dan beradaptasi dengan lingkungan yang ditempati.

Penyesuaian itu diaplikasikan dalam banyak hal, salah satunya makanan. Misalnya kecap manis yang disebut Agni Indonesia banget. Manisnya kecap itu karena campuran tebu dari Indonesia.

Mengingat, Tiongkok bukan negara produsen tebu.

“Tapi enggak hanya kuliner ya. Ya, kuliner dan fashion, pengaruhnya sama. Sandang dan makanan adalah kebutuhan pokok. Kalau sudah terpenuhi, ya nothing to complain about,” kata Agni saat diwawancara Solopos.com beberapa waktu lalu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya