SOLOPOS.COM - Suasana pusat jual beli toko bekas di Taman Buku dan Majalah Alun-Alun Keraton Solo, pada Minggu (18/6/2023). (Solopos.com/Galih Aprilia Wibowo).

Solopos.com, SOLO — Geliat jual beli buku secara offline di Kota Solo dinilai semakin redup. Disusul sejumlah toko buku yang mulai tutup satu per satu. Mayoritas penjual buku dari Solo memilih membuka lapak mereka secara online.

Sejumlah pihak menilai perlu adanya ekosistem ramah pembaca untuk menghidupkan kembali gairah jual beli secara langsung.

Promosi Sistem E-Katalog Terbaru LKPP Meluncur, Bisa Lacak Pengiriman dan Pembayaran

Pemilik Pustaka Pena Bookshop, Tedy W. Wijianto, Minggu (18/6/2023), juga lebih senang mengelola toko bukunya secara daring.

Menurutnya banyak penjual buku yang saat ini dimudahkan adanya lokapasar seperti, Shopee, Tokopedia, TikTok Shop.

Hal itu membuat pembeli tidak susah payah datang ke toko buku. Aktivitas jual beli bisa dilakukan dari mana pun, cukup klik item barang yang dimau.

Namun menurutnya, toko buku daring tersebut kurang interaktif sehingga kehadiran toko buku offline masih diperlukan.

Ia juga menilai sedikitnya toko buku offline di Solo disebabnya ekosistem literasi perbukaan di Solo yang belum terjalin secara sehat.

Lebih lanjut, ia menguraikan hal tersebut berkaitan dengan keterlibatan penulis, perancang sampul, penyunting, penerbit masih terjebak dalam ego sektoral.

Walaupun di Solo ada beberapa toko indie, sifatnya sekadar etalase.

“Demikian pula Gramedia, memiliki gerai di Solo, ya begitu hanya sebagai pajangan belaka. Misal, ada toko buku yang baik mampu mendekatkan pembaca buku dan pelaku perbukuan dengan bikin acara buku, lalu ekosistem tersebut menjadi hidup,” papar Tedy saat dihubungi Solopos.com, pada Minggu (18/6/2023).

Tedy menguraikan cukup banyak penjual buku daring di Solo namun tidak memiliki gerai atau fisik, karena saat ini dimudahkan dengan sistem penjualan buku dengan adanya lokapasar.

Menurutnya toko buku offline biasanya disandingkan dengan kedai kopi. Namun hal tersebut membutuhkan pengelola jitu, tidak sebatas pajangan di rak belaka.

Sehingga mampu mendekatkan pembaca dengan pelaku perbukuan melalui obrolan buku, diskusi apapun, sehingga ekosistem akan tumbuh secara organik.

Untuk membangun ekosistem tersebut juga memerlukan kantong-kantong diskusi yang ia nilai akan meriuhkan ekosistem perbukuan.

“Kolaborasi adalah kunci. Buku tidak hanya dinikmati oleh pelaku perbukuan saja melainkan bisa menggandeng musisi, seni rupa, kelompok teater, dan sebagainya. Apabila hal tersebut bisa reriyungan, saya optimistis dengan demikian ekosistem akan berjalan secara sehat,” ujar Tedy.

Selain itu perlu kesadaran untuk belajar menerima kritik, ia mencontohkan di Yogyakarta banyak penerbit dan penulis yang mampu mendekatkan pembaca, bahkan merambah pada kolaborasi dengan pelaku seni lainnya.

Adanya jejaring tersebut bisa menjadi pengelola toko buku yang ciamik dengan menggelar acara dan konten yang menarik. Di Yogyakarta hal ini gencar dilakukan oleh Bawa Buku, Warung Sastra, dan Theotraphi.

Ia menilai, misalnya lapak-lapak buku bekas di kawasan Keraton Solo memiliki segmentasi sendiri, baik untuk kalangan menengah ke bawah, maupun peneliti dan akademisi. “Toko-toko buku seperti hanya karun, menyediakan buku, majalah, tabloid lawas,” papar Tedy.

Ia menilai ekosistem tersebut belum bisa dibentuk sebab dukungan kampus dan instansi pemerintah masih minim.

Tedy juga menilai tantangan buku bajakan banyak merugikan pelaku dunia ini. Perlu ada toko buku yang bisa menimbulkan daya pikat untuk berkunjung ke sebuah toko buku.

Toko Buku Baru di Solo

Salah satu toko buku offline di Kota Solo yang baru dibuka yakni Periplus di Solo Paragon Mall. Assistant Store Manager Periplus Solo, Septia Melina Wulandari, Minggu (18/6/2023), menguraikan antusiasme warga Solo untuk hadir di Periplus sangat besar.

Sebelumnya, banyak pelanggan yang merasa kesulitan mencari toko buku, khususnya buku impor. Namun segmentasi pasar buku impor cukup terbatas.

Mereka menyediakan buku kategori fiction, young reader, childern book, activity book, comic, bussiness, hobbies, dan nonfiction seperti religion, relationship, dan biografi.

Ia menilai pasar buku impor cukup potensial, kebanyakan pada kelompok usia 15 hingga 35 tahun. Buku yang tengah digemari saat ini adalah novel, komik, dan buku mengenai cara menggambar manga. Septia menjelaskan juga menyediakan pelyanan melalui media sosial.



“Di era saat ini sudah banyak warga lokal yang mencari buku impor karena memang seperti sekolahan juga sudah banyak yang berbasis internasional. Beberapa customer juga sering cerita lebih suka membaca buku dengan bahasa asli [Bahasa Inggris] dibanding yang sudah terjemahan,” ujar Septia saat dihubungi Solopos.com.

Saat Solopos.com mengunjungi lapak buku bekas di kawasan Keraton Solo tampak sepi. Para pedagang banyak yang tidak membuka lapak mereka.

Lalu lintas pembeli lengang, padahal lalu lintas di kawasan Keraton Solo dekat Pasar Klewer cukup macet. Buku yang dijajakan juga tidak ditata secara rapi.

Ketua Paguyuban Buku Bekas Gladak mengaku sudah berjualan di lokasi itu sejak 1997.  Mayoritas buku di kiosnya di pusat buku bekas Alut Keraton Solo memang ia dapatkan dari pengepul rosok.

Kemudian ia menjualnya satuan. Harga per buku yang ia tawarkan pun beragam, mulai dari Rp15.000.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya