SOLOPOS.COM - Ilustrasi lahan padi.(freepik).

Solopos.com, SOLO — Kenaikan harga beras dinilai dapat memicu kenaikan kebutuhan pokok lainnya sehingga perlu upaya diversifikasi pangan di tengah masyarakat. Disusul menurunnya produksi padi di Soloraya kurun waktu 2021 hingga 2022.

Sementara itu berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Tengah (Jateng) yang diakses Solopos.com pada laman jateng.bps.go.id, Rabu (6/9/2023), dalam kurun waktu 2021 hingga 2022 tingkat produksi padi di Soloraya mayoritas menurun.

Promosi Sistem E-Katalog Terbaru LKPP Meluncur, Bisa Lacak Pengiriman dan Pembayaran

Misalnya di Kabupaten Klaten pada 2021 produksi panen padi sebanyak 387.733 ton turun menjadi 367.724 ton pada 2022. Penurunan juga terjadi di Kabupaten Sukoharjo yang pada 2021 panen padi sebanyak 328.275 ton menjadi 308.688 ton pada 2022.

Di Kabupaten Wonogiri juga mengalami penurunan produksi padi dari 405.989 ton pada 2021 menjadi 380.055 ton pada 2022. Penurunan juga terjadi di Kabupaten Sragen, pada 2021 produksi padi sebanyak 743.074 ton menjadi 683.496 ton pada 2022.

Di Kota Solo, pada 2021 produksi padi hanya 180 ton dan menurun menjadi 156 ton pada 2022.

Sementara itu, peningkatan produksi padi terjadi di Kabupaten Karanganyar pada 2021 sebanyak 271.490 ton dan meningkat pada 2022 menjadi 277.554 ton.

Produksi padi juga meningkat di Kabupaten Boyolali, pada 2021 produksi padi sebanyak 286.152 ton dan pada 2022 meningkat menjadi 302.311 ton.

Pentingnya Diversifikasi Pangan

Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Solo, Sarjiyanto, menyebut pemerintah harus memastikan stok pangan, khususnya beras agar selalu stabil. Hal ini sebagai antisipasi harga beras yang saat ini kian meroket.

Sarjiyanto menguraikan masyarakat harus waspada menyikapi kenaikan harga beras ini. Sebagai langkah antisipasinya, yaitu perlu ada diversifikasi pangan dan kembali ke kearifan lokal dalam variasi konsumsi makanan pokok.

“Tidak [hanya] beras, bisa dengan sumber karbohidrat yang lain yang tersedia di wilayah masing-masing,” terang Sarjiyanto kepada Solopos.com, pada Rabu (6/9/2023).

Selain itu, harga beras yang terus naik secara ekonomi akan memicu kenaikan harga-harga di pasar. Apalagi beras merupakan penyumbang inflasi tertinggi di Solo pada Agustus lalu.

Menurut dia, fenomena ini tak bisa dipandang sebelah mata dan perlu diwaspadai.

Mengingat, dampak perubahan iklim mengancam kelangkaan bahan pangan akan berpotensi resesi ekonomi karena inflasi yang terus meroket dan stagnasi pertumbuhan ekonomi.

Di sisi lain, Sarjiyanto menyebut stigma masyarakat soal makan hanya mengacu pada nasi hingga ada istilah “belum makan kalau belum nasi belum” juga menjadi masalah tersendiri.

Menurut dia, hal ini juga akibat kebijakan pangan yang dulu melakukan penyeragaman nasi sebagai makanan pokok. “Harusnya kembali ke kearifan lokal masing-masing daerah di Indonesia,” tambah Sarjiyanto.

Monokultur Menanam Padi

Ia menyebut, dulu sempat ada kebijakan monokultur menanam padi sebagai tanaman pangan.

Bahkan Indonesia berhasil menjadi swasembada beras pada 1980-an dan mendapa apresiasi dari dunia lewat organisasi pangan dan pertanian atau Food and Agriculture Organization (FAO).

“Sejak itu, karena kita surplus beras, makan dikampanyekan makanan pokok nasi ke seluruh Indonesia. Sampai saat ini sudah latah, kalau belum makan nasi katanya belum makan,” tambah dia.

Sementara itu berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Tengah (Jateng) yang diakses Solopos.com pada laman jateng.bps.go.id, Rabu (6/9/2023), dalam kurun waktu 2021 hingga 2022 tingkat produksi padi di Soloraya mayoritas menurun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya