SOLOPOS.COM - Ilustrasi kartu kredit (Istimewa)

Solopos.com, JAKARTA — Citibank, N.A., Indonesia (Citi Indonesia) dan sejumlah bank asing lainnya memilih untuk menjual bisnis konsumernya di Indonesia. Merebaknya bisnis paylater disebut menjadi salah satu penyebabnya.

CEO Citi Indonesia Batara Sianturi menjelaskan alasan bank asing keluar dari persaingan bisnis konsumer itu. Citibank diketahui melepas bisnis konsumer kepada UOB Group pada awal tahun lalu di empat negara, termasuk Indonesia. Proses ini menyusul keputusan dari kantor pusat Citi untuk keluar dari bisnis konsumer di 13 negara.

Promosi Layanan Internet Starlink Elon Musk Kantongi Izin Beroperasi, Ini Kata Telkom

Transaksi penjualan bisnis konsumer Citibank Indonesia ini mencakup bisnis retail banking dan kartu kredit, tetapi tidak termasuk bisnis institutional banking. Hingga kini, proses itu terus berjalan dan diperkirakan rampung pada semester II tahun ini.

Selain Citi, bank asing lainnya, Standard Chartered Bank Indonesia (SCBI) telah menandatangani perjanjian pengalihan sejumlah portofolio kredit yang termasuk ke dalam bisnis konsumer kepada PT Bank Danamon Indonesia Tbk. (BDMN). Penjualan bisnis konsumer ini diumumkan pada April 2023.

Selanjutnya Di antara portofolio kredit yang dilepas SCBI adalah kredit pemilikan rumah (KPR) dan kartu kredit. Kredit perorangan (personal loan) dan auto loan milik SCBI pun akan dialihkan ke Bank Danamon. Pada 2018, PT Bank ANZ Indonesia juga telah melepas divisi retail mereka ke PT Bank DBS Indonesia.

Batara mengatakan alasan bank asing seperti Citibank memilih menjual bisnis konsumernya karena pangsa pasar yang kecil bagi pemain luar. “Terlalu kecil market share-nya. Jadi susah align,” ujarnya dalam kunjungannya ke Wisma Bisnis Indonesia pada Rabu (27/9/2023) seperti dilansir Bisnis.

Selain itu, dia menyebutkan bank asing kalah saing dengan pemain lokal.

“Bagi bank global, bisnis konsumer biasanya hanya besar di home country,” kata Batara. Meski begitu, Batara menilai keputusan menjual lini bisnis konsumer merupakan langkah tepat.

Dengan menjual lini bisnis konsumernya, bank bisa fokus menggarap bisnis institutional banking.

Menurutnya, sejumlah bank global pun lebih memilih fokus menggarap bisnis institutional banking dan tidak menggarap bisnis konsumer.

“JP Morgan, BNP Paribas itu bank global yang spesialisasinya ke bisnis institutional,” ujarnya.

Sebelumnya, Pengamat Ekonomi dan Perbankan Binus University Doddy Ariefianto juga mengatakan penjualan konsumer milik bank asing merupakan langkah yang tepat.

“Karena persaingan bisnis terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Standard Chartered pun yang menjual bisnis ritelnya tidak lagi getol mengembangkan bisnisnya di sektor itu [bisnis ritel],” katanya.

Doddy mengatakan bisnis konsumer itu sulit dikembangkan oleh bank asing di dalam negeri. “Di bisnis KPR misalnya, banyak bank lokal yang punya produknya. Di bisnis kartu kredit, persaingannya sekarang ditambah oleh paylater,” katanya.

Sementara itu, Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Amin Nurdin mengatakan pelepasan bisnis konsumer oleh bank asing itu bukan semata-mata karena persaingan, tetapi ada kaitannya dengan kondisi ekonomi global.

“Mereka [bank asing] harus memilah mana bisnis yang berkontribusi besar. Beberapa bank asing memang menilai bahwa lebih aman mereka bersaing di bisnis institutional banking dibandingkan konsumer,” ujar Amin.

PT Pefindo Biro Kredit (IdScore) mencatat outstanding amount paylater mencapai Rp25,16 triliun pada semester I/2023. Angkanya melonjak 29,8 persen secara tahunan (year-on-year/yoy) atau naik 3,52 persen secara mtm. Direktur Utama Pefindo Biro Kredit Yohanes Arts Abimanyu mengungkapkan salah satu penyebab peningkatan outstanding paylater adalah proses persetujuan pembiayaan yang mudah dan cepat serta promo-promo yang menarik pada e-commerce maupun merchant-merchant yang ada.

“Hal ini juga didukung oleh perbaikan ekonomi pasca Covid dan lembaga keuangan baik bank, multifinance, dan P2P lending yang memberikan kemudahan bagi pembiayaan paylater,” ungkap Yohanes kepada Bisnis, Selasa (22/8/2023).

Berdasarkan data di IdScore, pengguna atau debitur paylater mencapai sekitar 13 juta debitur. Angka ini lebih tinggi 2 kali lipat dibandingkan debitur penguna kartu kredit yang hanya sekitar 6 juta debitur.

“Ini dapat diasumsikan bahwa penetrasi paylater lebih mudah diadopsi oleh masyarakat dibandingkan kartu kredit ataupun produk konsumtif lainnya di Indonesia,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya