SOLOPOS.COM - Pemilik Toko Tembakau Linting Kemebul Tobacco, Ian Pradana, 27, melayani pembeli di toko miliknya di Gondangrejo, Karanganyar, pada Rabu (8/3/2023). (Solopos.com/Galih Aprilia Wibowo).

Solopos.com, SOLO — Bisnis tembakau makin menjamur di Kota Solo. Salah satunya dengan pilihan rokok yang terjangkau yaitu rokok ngelinthing dewe atau tingwe yang menjadi pilihan bagi kaum pekerja di tengah kenaikan tarif cukai rokok.

Salah satu potensi ini dilirik oleh Pemilik Toko Tembakau Linting Kemebul Tobacco, Ian Pradana, 27. Ia banting setir dari bisnis percetakan di Jakarta setelah terpukul pandemi Covid-19 yang membuat usahanya menurun drastis. Pada akhir 2020, ia memutuskan untuk membuka usaha rokok tingwe di Kota Solo bersama temannya.

Promosi Telkom dan Scala Jepang Dorong Inovasi Pertanian demi Keberlanjutan Pangan

“Ide membuka usaha rokok tingwe dapat karena kenaikan cukai rokok. Orang-orang golongan menengah ke bawah, seperti mahasiswa atau karyawan dengan gaji UMR mau beli rokok filter atau rokok kretek kan keberatan, alternatifnya ngelinting sendiri,” ujar Ian saat ditemui Solopos.com di toko miliknya di Gondangrejo, Karanganyar, pada Rabu (8/3/2023) malam.

Ian mengaku memang memasang target market untuk konsumen menengah ke bawah. Kalau masyarakat menengah ke atas tawaran yang diberikan berupa cerutu. Namun cerutu ini terbilang kurang populer. Sebab, orang berduit lebih menyukai rokok filter atau kretek yang telah dikuasai oleh pabrik besar.

Ian menjelaskan pasokan tembakau di tokonya berasal dari berbagai daerah. Mayoritas dari petani langsung atau ketika beberapa jenis tembakau langka, ia mengambil stok dari distributor. “Misalnya tembakau jenis Gayo sempat langka bulan lalu, filter gabus ini juga langka, karena produksi berkurang seiring kenaikan minyak dunia,” terang Ian.

Pasokan tembakau di tokonya datang dari Boyolali, Purbolinggo (Lampung Timur), Ambon, dan Aceh. Ian menguraikan bahwa setiap tembakau memiliki ciri khas sesuai daerah ia berasal.

“Misalnya Gayo dari Aceh. Gayo dari Aceh ini terkenal dengan warnanya yang hijau. Rasanya beda banget dari rokok-rokok yang dijual di warung, lebih tastefull, lebih berasa. Selain Gayo, ada Kasturi, Darmawangi, dan lain-lain. Favorit pembeli sekarang lagi ke racikan tembakau pabrik, karena sudah olahan, dari pabrik sudah dikasih cengkeh,” papar Ian.

Ian memaparkan keahlian yang harus dimiliki oleh penjual rokok tingwe adalah cara membedakan tembakau mana yang berkualitas atau tidak. Karena tembakau ini, berbeda curah hujan atau kondisi tanah akan menyebabkan kualitas tembakau yang berbeda-beda, kemudian cara penyimpanan tembakau perlu untuk diperhatikan.

Saat ini ia telah mempunyai dua toko, di Pasar Ngemplak, Solo, dan di daerah Gondangrejo Karanganyar. Toko keduanya yang berada di Gondangrejo baru berjualan selama dua pekan, namun sudah mampu menjual 10 kilogram per hari. Sementara di Pasar Ngemplak, ia mampu menjual 20 kilogram tembakau eceran. Jadi total dalam sehari ia mampu menjual 30 kilogram tembakau eceran, belum termasuk yang grosir.

Untuk rentang harga tembakau miliknya mulai dari Rp12.000/ons untuk tembakau campuran pabrik, kemudian untuk Gayo Merah seharga Rp56.000/ons, kemudian untuk Kasturi seharga Rp35.000/kg. Satu ons tembakau bisa menjadi lebih dari seratus linting rokok dengan harga yang jauh lebih murah daripada rokok kemasan tentu konsumen banyak beralih ke rokok tingwe.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya