SOLOPOS.COM - Sejumlah pembeli menikmati kuliner legendaris Tahok Pasar Gede Pak Citro, Kamis (19/10/2023). (Solopos.com/Dhima Wahyu Sejati).

Solopos.com, SOLO — Tugu Jam Pasar Gede masih menunjukkan pukul 05.00 WIB ketika Maryanto, 52, sudah siap menyambut pelanggan setia Tahok Pasar Gede Pak Citro.

Jalan Jendral Urip Sumoharjo, Sudiroprajan, Kecamatan Jebres, Solo masih sepi. Namun, sesekali gerobak milik Maryanto itu sudah didatangi pembeli yang baru saja selesai berolahraga atau sekadar lewat.

Promosi Telkom dan Scala Jepang Dorong Inovasi Pertanian demi Keberlanjutan Pangan

Pria yang akrab disapa Pak Sentot itu sudah mulai bekerja sejak pukul 00.00 WIB. Tengah malam dia menyiapkan bahan berupa kedelai untuk diolah.

Dia merendam kedelai sekitar setengah jam, sebelum nantinya digiling. Proses itu memerlukan waktu yang cukup lama hingga sekitar pukul 02.00 WIB sampai 02.30 WIB.

“Habis itu istirahat sebentar dan mandi, nunggu 05.30 WIB baru berangkat,” kata dia kepada Solopos.com, Kamis (19/10/2023).

Meski butuh waktu cukup lama untuk mempersiapkan Tahok. Bagi Maryanto sangat mudah untuk menghabiskan dagangannya. Sebab nyatanya Tahok Pak Citro itu banyak peminat, bahkan pukul 08.30 WIB sudah habis.

Selesai jualan dia segera memberesi alat makan, kursi, dan gerobak. Dia harus menyimpan tenaganya untuk tengah malam guna menyiapkan dan mengolah bahan kedelain menjadi Tahok. Begitu keseharian yang dia jalani.

Sebelum berjualan Tahok di Pasar Gede. Maryanto sempat merantau ke Jakarta. Di kota metropolitan itu dia berjualan bakso, pempek, sampai es. Namun lantaran diminta pulang oleh ayahnya, yakni Pak Citro, akhirnya dia memutuskan pulang ke Solo.

“Bapak sudah tua ini, pokoe sing cedhak wae golek dhuet, sing gampang, rasah adoh-adoh [pokoknya yang dekat saja mencari uang, yang mudah, enggak usah jauh-jauh],” kata dia menirukan pesan dari sang bapak.

Pria paruh bayah kelahiran Pasar Kliwon, Solo, itu mengatakan pada mulanya hanya membantu Pak Citro berjualan tahok. Lalu sekitar dua puluh tahun lalu atau pada 2003 dia memutuskan berjualan sendiri.

Awalnya dia berkeliling sebelum akhirnya juga menetap di Pasar Gede.

Namun lantaran Pak Citro sudah semakin tua dan memutuskan pensiun sekitar 2009, akhirnya dia sendiri yang melanjutkan usaha tahok dan tetap berjualan di Pasar Gede.

Kuliner Solo
Sejumlah pembeli menikmati kuliner legendaris Tahok Pasar Gede Pak Citro, Kamis (19/10/2023). (Solopos.com/Dhima Wahyu Sejati).

Generasi Kedua Tahok Pak Citro

Dengan begitu, Maryanto merupakan generasi kedua. Dia mewarisi resep tahok dari sang ayah, Pak Citro. Selama lebih dari lima puluh tahun ayahnya berjualan di Pasar Gede, dia tidak pun merubah resep. Alhasil, rasanya pun konsisten. “Resepnya sama persis,” kata dia.

Tidak ada resep rahasia. Kunci kelezatan Tahok adalah komposisi bahan yang pas. Namun yang lebih penting lagi, pengalamannya puluhan tahun membuat Tahok itu yang membuat rasanya selalu konsisten enak.

“Gula sudah dipatok satu masakan tiga kilo, jahe satu kilo, pandan sereh lebih banyak lebih enak, terus tambah garam biar sedep biar mantep manise,” kata dia.

Dari olahan bahan itu menghasilkan rasa manis-pedas dari perpaduan gula dan jahe. Tekstur Tahok yang berwarna putih bersih itu sangat empuk dan ringan dimakan. Ketika tersendok dari piring, Tahok tidak pecah.

Tapi ketika sudah sampai mulut langsung luber dan mudah untuk dikunyah.

Tektur lembut dan empuk itu berkat kelihaian Maryanto mengolah kedelai. “Kalau saya pakai kedelai murni terus digiling [untuk] diambil sarinya baru dimasak, makanya ketika dimakan bisa kenyal-kenyal enak,” kata dia.

Rasanya yang selalu konsisten enak itu membuahkan cuan. Dalam sehari, rata-rata dirinya bisa menjual delapan puluh mangkok Tahok. Dia mengaku tidak menambah produksi Tahok meski pelanggan cukup ramai. “Karena perlu istirahat,” kata dia.

Dia mengatakan sekitar sepuluh tahun lalu Tahok miliknya sempat dijual dengan harga Rp2.500 saja. Namun seiring bahan baku semakin mahal, harganya pun semakin naik.

Sekarang, per porsi dibanderol dengan harga Rp10.000. “Sekarang sudah standar mie ayam, apa-apa naik, delai, gula, semua naik,” kata dia.

Meski begitu, pelanggan baru selalu datang lantaran Tahok Pasar Gede Pak Citro selalu muncul di rekomendasi sosial media para food vlogger.

Salah satunya adalah pembeli asal Tawangmangu, Intan, 20, datang jauh-jauh hanya ingin mencicipi rasa Tahok di Pasar Gede. Siska mengaku telat lantaran datang pukul 08.30 WIB. Hal itu membuatnya hanya mendapat porsi terakhir.

“Pertama kali nyoba, ternyata rasanya ringan, terus kuah jahenya enak. Tapi aku ke sini telat dan ini porsi terakhir yang aku makan tadi,” kata dia.



Akulturasi Makanan Tionghoa

Tahok sendiri sebenarnya bukan asli makanan Jawa. Namun merupakan kuliner tradisional China yang mengalami akulturasi ke dalam kebudayaan Jawa.

Dalam Jurnal Pariwisata Terapan yang dipublikasikan Sekolah Vokasi, Universitas Gadjah Mada (UGM) berjudul Pemetaan Wisata Kuliner Khas Kota Surakarta (2017), Amad Saeroji dan Deria Adi Wijaya menyebut Tahok dibawa oleh pendatang dari negeri China yang tinggal di Pasar Gede.

Tahok berasal dari dua kata, yaitu tao atau teu yang berarti kacang kedelai, dan hoa atau hu yang berarti lumat. Sesuai namanya, Tahok bisa berarti makanan dari kedelai yang dilumat.

Tahok dengan bahan kuah jahe terasa cocok sebagai penghangat badan. Namun ada manfaat lain, yakni sebagai sumber kalsium yang bisa memperkuat tulang dan mencegah osteoporosis.

“Karena kandungan senyawa yang menyerupai estrogen, Tahok juga dapat menunda datangnya menopause dan mencegah kanker prostat bagi kaum laki-laki,” tulis Amad Saeroji dan Deria Adi Wijaya, dikutip Kamis (19/10/2023).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya