Bisnis
Kamis, 18 Januari 2024 - 08:51 WIB

Lindungi Pelaku Usaha, Luhut Minta Kenaikan Pajak Hiburan Ditunda

Anik Sulistyawati  /  Annasa Rizki Kamalina  /  Anik Sulistyawati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Marinves) Luhut Binsar Pandjaitan diwawancarai awak media di Nusa Dua, Kabupaten Badung, Jumat (22/12/2023) ANTARA/Dewa Ketut Sudiarta Wiguna

Solopos.com, JAKARTA — Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan ikut buka suara terkait kenaikan pajak barang jasa tertentu atau pajak hiburan. Dia pun meminta agar kenaikan pajak tersebut bisa ditunda dan dievaluasi agar tidak merugikan masyarakat dan pelaku usaha kecil.

“Jadi kita mau tunda saja dulu pelaksanaannya karena itu dari Komisi XI kan sebenarnya, bukan dari pemerintah ujug-ujug terus jadi gitu. Sehingga kemarin kita putuskan ditunda, kita evaluasi,” katanya dalam unggahan video di akun Instagram pribadinya @luhut.pandjaitan yang dipantau di Solo, Kamis (18/1/2024).

Advertisement

Luhut menyebut mendengar polemik terkait pajak hiburan saat dirinya tengah melakukan kunjungan kerja ke Bali beberapa waktu lalu. Ia pun langsung mengumpulkan pemangku kepentingan terkait, termasuk Gubernur Bali dan jajarannya.

Luhut menambahkan, uji materi atau judicial review yang diajukan sejumlah pihak juga nantinya akan jadi bahan pertimbangan pemerintah dalam penerapan pajak hiburan.

“Ada judicial review ke Mahkamah Konstitusi, saya pikir itu harus kita pertimbangkan karena keberpihakan kita ke rakyat kecil, karena itu banyak menyangkut pada pedagang-pedagang kecil juga,” ujarnya.

Advertisement

Luhut pun menegaskan bahwa dirinya sangat mendukung pengembangan pariwisata di daerah sehingga dia tak ingin kenaikan pajak membebani pelaku usaha, terlebih mereka yang terlibat dan merasakan dampaknya.

“Jadi hiburan itu jangan hanya dilihat diskotek. Bukan, ini banyak, sekali lagi impact (dampak) pada yang lain, orang yang menyiapkan makanan, jualan dan yang lain sebagainya. Saya kira, saya sangat pro dengan itu dan saya tidak melihat alasan untuk kita menaikkan pajak dari situ,” ujar Luhut.

Dalam UU No 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD), pajak hiburan terhadap 11 jenis pajak ditetapkan paling tinggi sebesar 10 persen.

Sebelas jenis pajak itu, berdasarkan Pasal 55 UU 1/2022, di antaranya tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu; pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana; kontes kecantikan; kontes binaraga; pameran; serta pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap.

Advertisement

Kemudian, pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor; permainan ketangkasan; olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran; rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang; serta panti pijat dan pijat refleksi.

Adapun untuk diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa, pemerintah memperbarui kebijakan dengan menetapkan batas bawah 40 persen dan batas atas 75 persen. Hal itu mempertimbangkan jenis hiburan tersebut hanya dinikmati oleh golongan masyarakat tertentu, sehingga pemerintah menetapkan batas bawah guna mencegah perlombaan penetapan tarif pajak rendah demi meningkatkan omzet usaha.

Sebelumnya,  Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyatakan pajak hiburan yang diterapkan merupakan dukungan pemerintah terhadap pengembangan pariwisata daerah.

Menurut Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kemenkeu Lydia Kurniawati Christyana, pemerintah telah menurunkan tarif pajak barang jasa tertentu (PBJT) jasa kesenian dan hiburan secara umum dari 35 persen menjadi 10 persen.

Advertisement

“Ada penurunan tarif PBJT yang ditetapkan, karena pemerintah sangat mendukung pengembangan pariwisata di daerah,” kata Lydia saat media briefing di Jakarta pada Selasa (16/1/2024), seperti dilansir Kantor Berita Antara.

Sebagai informasi, tarif PBJT atau pajak hiburan sebesar 35 persen diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Kemudian, dalam UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD), tarif PBJT ditetapkan paling tinggi sebesar 10 persen.

Dijelaskan, penurunan tarif tersebut dilakukan untuk menyeragamkan dengan tarif pungutan berbasis konsumsi lainnya, seperti makanan dan/atau minuman, tenaga listrik, jasa perhotelan, dan jasa parkir.

Terdapat 12 jenis hiburan dan kesenian yang terkena tarif PBJT, di antaranya tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu; pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana; kontes kecantikan; kontes binaraga; pameran; serta pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap.

Advertisement

Sementara itu, pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor; permainan ketangkasan; olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran; rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang; panti pijat dan pijat refleksi; serta diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.

Khusus untuk diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa, besaran tarif yang diterapkan yaitu batas bawah 40 persen dan batas atas 75 persen. Hal itu mempertimbangkan jenis hiburan tersebut hanya dinikmati oleh golongan masyarakat tertentu, sehingga pemerintah menetapkan batas bawah guna mencegah perlombaan penetapan tarif pajak rendah demi meningkatkan omzet usaha.

“Penetapan tarif, Pemerintah dan DPR telah mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak, mendasarkan pada praktik pemungutan di lapangan dan mempertimbangkan pemenuhan rasa keadilan masyarakat, khususnya bagi kelompok masyarakat yang kurang mampu dan perlu mendapatkan dukungan lebih kuat melalui optimalisasi pendapatan negara,” urai Lydia menjelaskan kenapa ada ketentuan pajak hiburan naik 40 persen hingga 75 persen.

Merespons kritik pengusaha, pemerintah akan mengadakan pertemuan dengan pelaku usaha untuk mendiskusikan pajak barang jasa tertentu (PBJT) untuk kesenian dan hiburan atau pajak hiburan.

“Kami bersama Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif akan berbicara dengan para pelaku usaha hiburan spa dan karaoke. Kemenparekraf sepakat untuk kita bicara dengan asosiasi, kami akan jadwalkan,” kata Lydia.

Sebelumnya, Wakil Ketua Umum (WKU) Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Pengembangan Otonomi Daerah, Sarman Simanjorang, mengaku kabar kenaikan pajak hiburan menjadi kado yang kurang baik bagi pelaku usaha di awal 2024.

Advertisement

Menurutnya, kenaikan ini dilakukan pada waktu yang tidak tepat karena pengusaha di industri pariwisata baru saja bangkit dari hantaman pandemi Covid-19. Mantan komisaris perusahaan bir PT Delta Djakarta Tbk. (DLTA) mengaku bahwa cashflow pengusaha di daerah-daerah belum pulih sepenuhnya.

“Menurut hemat kami, ini pajak hampir 100%, kenapa tidak angka yang rasional aja seperti yang diberlakuakn sebelumnya, jadi antara 15-25% misalnya, itu hal yang masih wajar dan saya rasa tidak jauh beda dengan negara tetangga kita yang lain,” ujarnya kepada Bisnis, dikutip Selasa (16/1/2024).

Untuk itu, dirinya meminta pemerintah untuk menunda penerapan tarif pajak hiburan 40%-75%. Di sisi lain, pengusaha karaoke yang juga public figure Inul Daratista mengaku keberatan dengan adanya kenaikan pajak hiburan 40%-75%.

“Pajak hiburan naik dari 25% ke 40%-75% sing nggawe aturan mau ngajak modyar tah!!” tulis Inul melalui platform X.com, dikutip Minggu (14/1/2024).

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif