SOLOPOS.COM - Ilustrasi mudahnya mengakses pinjaman online. (freepik)

Solopos.com, JAKARTA — Center of Economic and Law Studies (CELIOS) mendesak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengatur bunga dan biaya layanan fintech peer to peer (P2P) lending atau pinjaman online (pinjol).

Hal tersebut menyusul dugaan kartel atau pengaturan bunga oleh Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI).

Promosi Telkom dan Scala Jepang Dorong Inovasi Pertanian demi Keberlanjutan Pangan

Direktur Ekonomi Digital dan Ekonom CELIOS Nailul Huda mengatakan selama ini tidak ada informasi transparan terkait dengan biaya bunga dan layanan.

Menurutnya, informasi mengenai bunga hanya ditampilkan 0,4 persen tanpa keterangan yang lebih jelas apakah per hari, per minggu, atau per tahun.

“Atas informasi bunga yang ‘parsial’ tersebut, survei dari APJII menunjukkan faktor utama peminjaman di pinjol adalah bunga yang murah,” kata Nailul Huda dalam keteranganya dikutip Minggu (8/10/2023).

Dia menyampaikan apabila bandingkan dengan bunga lembaga keuangan lainnya, bunga pinjol per tahun sangat tinggi.

Pasalnya dengan bunga 0,4 persen per hari saja, bunga pinjol per tahun bisa mencapai 144 persen, atau 1,4 kali dari pokok pinjaman.

Tidak hanya sampai disitu, Nailul Huda menambahkan informasi lain seperti biaya layanan, asuransi, dan denda juga tidak disebutkan untuk persentase maupun nilai-nya.

Bahkan ada platform pinjol yang menetapkan biaya layanan dan asuransi hampir 100 persen dari pinjaman pokok.

Apabila benar ada asuransi pinjaman yang tinggi, lanjutnya, platform tidak perlu menagih terlalu berlebihan kepada peminjam karena pokok pinjaman harusnya diganti oleh perusahaan asuransi.

“Tapi pada kenyataannya, cara penagihan pinjol sering melewati batas wajar,” imbuh Huda.

Di sisi lain, Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira mengatakan bahwa selama ini seolah regulasi pinjol dibuat terlalu lunak.

“Ada indikasi pengaturan di industri pinjol tidak detil terkait dengan batas bunga pinjaman, dan biaya layanan. Sepertinya ada yang berlindung dibalik inovasi keuangan digital, jadi seolah perlindungan konsumen kerap dinomor duakan. Akibatnya pemain pinjol menetapkan bunga dan biaya layanan tergantung kesepakatan, tidak diatur secara eksplisit dalam POJK,” jelasnya.

Untuk itu, CELIOS meminta agar masalah batas atas bunga pinjol dimasukkan dalam POJK seabgai bentuk perlindungan dan literasi terhadap calon peminjam.

Menurut Bhima, OJK sebaiknya berani mengubah ketentuan dalam revisi POJK terkait dengan fintech P2P lending atau membuat POJK baru yang berisi ketentuan batas maksimum bunga Fintech tidak boleh lebih tinggi dari fasilitas pinjaman KTA bank yakni berkisar 10-25 persen per tahun.

“Sementara bunga pinjaman produktif sebaiknya tidak melebihi 9 persen per tahun. Selain itu kami juga meminta OJK agar menetapkan sanksi apabila perusahaan fintech melanggar ketentuan batas bunga atas,” ungkap Bhima.

Bhima mengatakan pengaturan transparansi bunga pinjol juga penting agar menambah edukasi calon peminjam (borrower).

“Jangan ada iklan pinjol terutama di media sosial atau kontrak yang disepakati antara pinjol dengan peminjam menyebut bunga harian, karena 0,4 persen per hari kesannya kecil, tapi kalau diakumulasi per tahun setara 144 persen itu mahal sekali. OJK sebaiknya mewajibkan pinjol mencantumkan bunga per annum atau per tahun meski tenor pinjol lebih pendek dibanding lembaga keuangan lain,” tutup Bhima.

Artikel ini telah tayang di Bisnis.com dengan judul OJK Didesak Atur Bunga dan Biaya Layanan Pinjol agar Lebih Transparan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya