SOLOPOS.COM - Pemilik Dcelluar Solo, Dendy Noviandra, 39, yang telah berkecimpung di dunia retail handphone di Plaza Singosaren Solo sejak 21 tahun yang lalu. Foto diambil Selasa (14/2/2023). (Solopos.com/Galih Aprilia Wibowo).

Solopos.com, SOLO — Plaza Singosaren Solo menjadi pusat perdagangan handphone baik seken ataupun baru.

Pasang surut pelaku bisnis membuat persaingan makin ketat, dari 300 pelaku bisnis, hanya 20-an pelaku bisnis lama yang tetap eksis di Plaza Singosaren.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Salah satunya Pemilik Dcelluar Solo, Dendy Noviandra, 39, telah berkecimpung di dunia retail handphone di Plaza Singosaren sejak 21 tahun yang lalu.

Setelah lulus SMA ia bekerja menjadi sales di salah satu toko handphone di Plaza Singosaren saat berusia 18 tahun. Berbekal pengalamannya, setelah dua tahun bekerja sebagai sales, ia akhirnya berhasil membuka toko sendiri.

“Awal 2000-an itu sudah ramai jual beli handphone di Singosaren. Kemudian pertama di sini pada 2003 masih kerja ikut orang, jadi sales. Kemudian 2005 punya satu kios, dulu itu kerja sama, bahasa kerennya investor karena dulu jadi langganan dan akrab, terus menawari saya, akhirnya mau sharing profit, modal awalnya 20 juta,” terang Ketua Paguyuban Pelaku Bisnis Pasar Singosaren (Pakubaris) ini saat ditemui Solopos.com di tokonya pada Selasa (14/2/2023).

Awal merintis usaha tersebut, ia sangat mengandalkan promosi dari mulut ke mulut dari circle pertemanannya, berbekal kemampuan berdagang sebagai sales.

Dulunya ia hanya mengurusi toko miliknya dengan sendiri, namun saat ini ia telah memiliki 17 karyawan dengan empat toko yang semuanya terletak di Plaza Singosaren Solo.

“Sentra jual beli memang di sini [Plaza Singosaren Solo], kalalu dulu handphone masih jarang, margin tidak banyak dan pelaku usaha tidak seramai ini, jadi berkembang,” ujar Dendy.

Pada era 2003 pelaku bisnis di Plaza Singosaren Solo tidak mencapai 100 orang, kemudian naik pada 2008 hingga 2010 menjadi 500 orang.

“Orang datang dan pergi itu banyak, coba-coba. Seperti bisnis kuliner, minuman boba itu. Semua berani mencoba. Terus berkurang karena enggak tahan sama cobaan, tidak bisa membaca tren pasar,” papar Dendy.

Dendy kemudian menjelaskan tips bertahan dalam berbisnis jual beli handphone. Secara umum yakni harus memahami manajemen, khususnya cash flow.

Tetap pasang mata, pasang telinga melek informasi terkait, penurunan atau peningkatan harga dan produk secara nasional.

Handphone saat ini sudah menjadi bagian dari manusia, bagian non fisik yang paling penting. Dompet ketinggalan gapapa, handphone jangan, ada teknologi cashless,” ujar Dendy.

Untuk menggaet pasar, ia menjual semua brand handphone. Distributor handphone ditentukan tiap wilayah, misalnya di Jawa Tengah, semua barang berasal dari Semarang.

Karena berjualan all brand, Dendy mengaku bisa membaca tren pasar berdasarkan kuantitas jenis handphone yang terbatas, tentu akan berpengaruh pada permintaan pasar yang tinggi.

Serta bisa dilihat dari permintaan sistem pre-order, ataupun dari jumlah suka dan komentar di media sosial.

Channel Youtube yang khusus membahasa gadget yang memberikan edukasi produk juga bisa memengaruhi permintaan pasar.

Namun tidak terlalu berpengaruh di Plaza Singosaren, karena Kota Solo masih masuk daerah, rata-rata orang menyukai tatap muka secara langsung untuk berkonsultasi produk.

“Untuk usia 30-50 tahun menyukai tatap muka, kalau yang adik-adik, lebih muda tentu banyak yang suka nonton review dulu,” kata Dendy.

Pembeli yang datang ke tokonya rata-rata memakai sistem tukar tambah untuk membeli handphone baru atau seken, ia sendiri juga melayani sistem kredit selain tunai. Untuk sistem kredit ia memakai pihak ketiga seperti Shopee paylater, Kredivo, dan lain-lain sesuai permintaan customer.

Saat pandemi Covid-19 lalu, sempat membuat tokonya tutup selama tiga minggu dan dibatasi durasi berjualan. Pembatasan ini membuat pola jual beli berubah menjadi cash on delivery (COD), yaitu jemput bola ke konsumen.

Dendy juga merambah ke marketplace seperti Shopee, Tokopedia, dan OLX. Namun dengan nilai jual lebih tinggi karena berbenturan dengan administrasi masing-masing marketplace.

Dendy menguraikan tren pasar untuk jual beli handphone bisa dipastikan empat bulan dalam setahun, ia bisa menjual dua kali lipat jumlah produk ketika high season dalam empat bulan tersebut. High season bisa disebut sebagai waktu permintaan handphone bertambah.

High season tersebut memang dipengaruhi oleh event, ia menilai hal tersebut sebagai traffic pembeli. Rata-rata orang banyak mencari handphone ketika akhir tahun, tepatnya pada November dan Desember. Serta waktu Ramadhan dan lebaran.



“Kalau biasanya h-5 lebaran, dan h+3 lebaran bakal ramai. Orang-orang banyak yang spend tabungan pada waktu-waktu itu,” ujar Dendy.

Hari-hari biasa pada satu toko miliknya paling tidak bisa menjual 10 hingga 15 handphone, sedangkan ketika high season bisa mencapai 20 hingga 30 handphone bisa terjual.

Dendy menjelaskan pelaku usaha di Plaza Singosaren Solo kerap bersinggungan dengan polisi luar kota karena dituduh penadah. Karena hal tersebut, ia memilih berkuliah jurusan hukum di Universitas Islam Batik (UNIBA) Solo, pada saat ia berusia 28 tahun.

“Toko selalu dituduh sebagai penadah, padahal pasal penadah itu, ketika menerima lebih dari satu barang, minimal tiga barang. Padahal enggak semua handphone batangan [di Plaza Singosaren Solo] itu ilegal. Jadi kuliahnya sesuai kebutuhan ilmu, memang awalnya enggak berniat untuk kuliah,” ujar Dendy.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya