SOLOPOS.COM - Ilustrasi pegawai outsourcing (Freepik)

Solopos.com, SOLO — Pekerja dengan gaji upah minimum kabupaten/kota (UMK) harus ekstra menarik ikat pinggang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sistem kontrak dan outsourcing membuat mereka tipis harapan menjadi karyawan tetap.

Peringatan Hari Buruh Internasional, yang jatuh tepat pada Senin (1/5/2023) ini tidak begitu terasa bagi para pekerja, mungkin kenikmatan yang dirasakan hanya libur nasional, yang berarti mereka tidak bekerja pada hari ini.

Promosi Kinerja Positif, Telkom Raup Pendapatan Konsolidasi Rp149,2 Triliun pada 2023

Uswatun Nisa, 23, berkisah bahwa ia telah menjadi karyawan pabrik tekstil di Sukoharjo, Jawa Tengah selama lima tahun terakhir ini. Semenjak lulus sekolah menengah kejuruan (SMK) pada 2018, ia memilih merantau untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Wanita asal Wonogiri ini, mengaku setelah lulus ia disalurkan dari pihak sekolah untuk bekerja di salah satu pabrik tekstil di Kota Jamu tersebut.

Berjalan lima tahun bekerja menjadi karyawan pabrik, ia telah berpindah-pindah di lima pabrik yang berbeda setelah ia menyelesaikan kontraknya. Ia menceritakan durasi dirinya bekerja paling lama pada satu perusahaan adalah setahun. Sisanya, ia memilih loncat dari satu pabrik ke pabrik lainnya untuk menjajal pengalaman yang berbeda walaupun dengan gaji serupa.

Sebagai pekerja pabrik, ia tidak mengharapkan gaji lebih dari UMK, karena di manapun ia bekerja gaji yang ia terima tetap sama. Alasannya berpindah-pindah pabrik dalam bekerja selain karena pengalaman, ia merasa mudah mendapatkan pekerjaan.

Mayoritas di pabrik tempat ia bekerja biasanya memakai sistem kontrak, misalnya kontrak awal selama dua tahun kemudian diperbarui. Sebelumnya, ada masa training selama tiga bulan sebelum meneken kontrak tersebut. Namun ada pula pabrik dengan sistem kontrak selama tiga bulan sekali.

Ia menuturkan besar harapannya diangkat jadi karyawan tetap, karena menurutnya lebih aman dari pemutusan hubungan kerja (PHK).

“Ada kemungkinan menjadi karyawan tetap, namun butuh masa kerja yang cukup lama,” ujarnya kepada Solopos.com, Senin.

Selain merasa aman dari ancaman PHK, menjadi karyawan tetap berarti ia tidak harus memperbarui kontrak, namun gaji karyawan tetap seingatnya tetap sama dengan sebelumnya, tidak lebih dari UMK.

Pilih Cikarang

Kisah lainnya dituturkan oleh Seli Dwi, 25. Wanita asal Wonogiri ini memilih merantau lebih jauh ke Cikarang, Jawa Barat, dengan pertimbangan UMK yang lebih besar dibandingkan bekerja di Soloraya, yaitu Rp5.137.575 per bulan. Ia sendiri bekerja dengan sistem alih daya atau outsourcing.

Seli selalu memperpanjang kontrak kerjanya setiap tiga bulan sekali, dan ia telah bekerja setahun ini. Setiap kontraknya habis ia selalu mendapatkan pesangon, dan selalu dipanggil kembali untuk menekan kontrak awal lagi, namun tidak pernah menjadi karyawan tetap. Ia menjelaskan ada kemungkinan ia bisa menjadi karyawan tetap, namun bergantung kebijakan perusahan.

Ia mengaku mulai merasa tidak aman dan nyaman karena bekerja dengan sistem outsourcing, karena merasa waswas tidak bisa memperpanjang kontraknya lagi, sehingga ia masih memiliki harapan untuk diangkat sebagai karyawan tetap.

“Harapan pasti ada, tapi cuma tipis,” ujar Seli.

Ia bekerja selama delapan jam sehari, Senin hingga Jumat tiap pekan. Jobdesk yang ia kerjakan setiap hari juga berbeda-beda, misalnya quality control.

Seli mengaku ingin mencoba pekerjaan lainnya. Alumnus Universitas Islam Batik (Uniba) Solo ini menjelaskan capai bekerja jauh dari rumah. Ketika momen mudik ini ia mengaku menghabiskan lebih dari Rp1 juta untuk tiket bus pulang dan pergi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya