Bisnis
Minggu, 6 Agustus 2023 - 14:08 WIB

Kisah Para Sopir Truk di Jalanan: Istirahat Minim, Menyetir hingga 20 Jam/Hari

Gigih Windar Pratama  /  Ika Yuniati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi sopir truk. (Istimewa).

Solopos.com, SOLO — Sistem kerja yang tak sesuai aturan Departemen Tenaga Kerja (Depnaker) hingga menyebabkan kelelahan para sopir jadi faktor kedua penyebab maraknya kecelakaan angkutan barang di Indonesia.

Sejumlah sopir angkutan barang seolah harus berdamai dengan istirahat yang minim karena dianggap sebagai risiko pekerjaan.

Advertisement

Hal ini tidak lepas dari sistem pembayaran sopir truk yang beragam, mulai dari menerapkan bagi hasil, borongan per barang yang diantar, hingga gaji dengan sistem persentase.

Sistem pembayaran yang berbeda-beda inilah yang membuat sopir truk sebisa mungkin menyelesaikan pekerjaan dengan cepat tanpa mementingkan waktu istirahat.

Ketidakseimbangan waktu bekerja dan istirahat ini salah satunya diceritakan oleh sopir yang biasa mengangkut beras dari Klaten menuju Surabaya bernama Lukmanto, 47.

Advertisement

Per bulannya ia bisa mengantongi upah hingga Rp4,5 juta dengan bekerja 24 hingga 28 hari. Mengenai jam kerja, Lukmanto mengatakan bisa menyetir truk 14 hingga 20 jam sehari.

“Biasanya tergantung dari waktu yang diberikan dari kantor, jadi ada targetnya untuk pengiriman berapa hari, kalau lebih dari itu biasanya kena potongan gaji. Sistem bayarnya borongan, jadi untuk berapa kali pengiriman harganya berapa. Saya itu biasanya sekitar 20 sampai 25 pengiriman per bulan,” jelasnya saat ditemui Solopos.com, Kamis (3/8/2023).

Disinggung mengenai jam kerja yang lebih dari delapan jam, Lukmanto menyatakan sudah terbiasa terutama jika pesanan sedang ramai mendekati Lebaran.

Ia juga mengatakan muatannya cukup sering masuk kategori over dimensi dan over loading (ODOL). Meskipun begitu, Lukmanto meyakini asal berhati-hati perjalanan akan lancar dan tidak ada kendala.

Advertisement

“Ya memang sering kalau kelebihan muatan, apalagi kalau sudah mendekati Lebaran atau hari besar, karena pesanan banyak dan harus terkirim semua. Tapi Insya Allah kalau hati-hati dan kalau capek ya berhenti, perjalanan pasti aman-aman saja,” ujarnya.

Cerita berbeda diungkapkan sopir truk lainnya, Risman. Jam istirahat sopir yang dibayar berdasarkan persentase dari uang perjalanan ini juga tak tentu.

Risman biasanya mengantongi hingga Rp7 juta per bulannya.

“Kalau dibuat delapan jam per hari bayaran saya enggak nutup, kalau saya sistemnya persentase jadi sebisa mungkin perjalannya lebih singkat, semakin cepat saya sampai semakin besar bayarannya. Rata-rata saya perjalanan 18 jam baru istirahat, tapi ya pernah juga sampai 23 jam atau 25 jam baru istirahat,” ulasnya.

Advertisement

Ia mengatakan bayarannya akan semakin berkurang jika truk mengalami masalah di tengah perjalanan. Mengingat, dia harus telat mengantarkan barang.

Untuk itu, Risman berupaya menyelesaikan masalah secepatnya di truknya jika mogok. Bila perlu mengganti spare part, ia akan membeli dari temannya sesama sopir truk.

“Yang tekor itu kalau misalkan truknya bermasalah, entah rusak atau spooring nya kena otomatis ya dibenerin sendiri, kadang dibantu teman-teman juga di jalan. Kalau ganti spare part biasanya beli bekas di toko langganan atau tukar tambah sama punya truk lainnya,” ungkapnya.

Risman mengatakan, kondisi truk yang ada di jalan saat ini rata-rata cukup mengkhawatirkan. Ia berharap, ada kesadaran dari para pemilik perusahaan untuk melakukan peremajaan kendaraan juga peningkatan kesejahteraan dari para sopir.

Advertisement

“Rata-rata truk sekarang sudah lebih dari 10 tahun beroperasi dan sering ODOL, jadi jangan heran kalau banyak truk mogok dengan kendala mesin, rem blong atau roda yang pecah. Kami para sopir enggak bisa berbuat banyak, yang penting megemudi dengan hati-hati saja,” ucapnya.

Terpisah, Ketua Paguyuban Manunggal Sopir Solo (PMSS), Totok Darwanto mengatakan sampai saat ini belum ada standar gaji bagi para sopir angkutan barang.

Ia juga menjelaskan sistem pembayaran yang berbeda-beda setiap perusahaan menyulitkan standarisasi sistem gaji bagi para sopir truk.

“Kalau standar bayarannya belum ada karena memang enggak bisa ditentukan. Apalagi setiap sopir dan perusahaan punya patokannya beda, ada yang sistem setoran sampai borongan. Tergantung perjanjiannya antara bos dan sopirnya, ada yang bagi hasil 60-40 persen,” kata dia.

Seminar Transportasi

Ketua Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), Soerjanto Tjahjono, dalam seminar Membangun Transportasi Barang yang Selamat, Tertib dan Efisien yang digelar secara daring, Rabu (1/8/2023), mengatakan kelelahan pengemudi menjadi faktor kedua terbanyak penyebab kecelakaan angkutan barang di Indonesia.

Menurut Soerjanto, para pengemudi angkutan barang memiliki jam kerja yang cukup melelahkan dan tidak mengikuti aturan jam kerja yang ditetapkan oleh Departemen Tenaga Kerja (Depnaker).

Advertisement

Ia juga menegaskan tempat istirahat bagi para sopir angkutan barang juga masih minim.

“Masalah fatigue atau kelelahan pengemudi, seperti kita ketahui bahwa mereka umumnya tidak mengikuti aturan jam kerja yang ditetapkan Depnaker, di jalan juga tidak tersedianya tempat istirahat yang layak. Terakhir kondisi jalan juga cukup berpengaruh,” ungkapnya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif