SOLOPOS.COM - Ilustrasi Work From Home. (Freepik)

Solopos.com, SOLO — Berjalan menelusuri deretan stand berbagai perusahaan pemberi kerja dalam acara Job Fair Career Expo 2023 di Graha Wisata Niaga, Laweyan, Solo, Selasa (26/9/2023) lalu, Dwi Novitasari, 34, tampak lesu dan tidak bersemangat.

Sering kali, dia hanya memperhatikan penjelasan rekruiter  beberapa perusahaan yang hadir di job fair saat itu. Namun, saat langkahnya berhenti di depan stand Alila Hotel Solo, dia tampak tertarik dan sedikit takut untuk mencoba mendaftar.

Promosi Kinerja Positif, Telkom Raup Pendapatan Konsolidasi Rp149,2 Triliun pada 2023

Akhirnya Dwi mengurungkan niatnya mendaftar lewat stand Alila Hotel Solo di job fair tersebut. Dia kemudian beranjak menjauh dari deretan stand dan berdiri untuk mengatur napasnya sembari memperhatikan beberapa pekerja perempuan yang hadir di job fair itu.

Saat ditemui Solopos.com, Dwi menceritakan kesulitannya mencari kerja di usia yang tidak lagi muda.

“Umur saya sudah 34, sekarang mencari kerja sulit sekali rasanya, sering bermasalah lah padahal saya butuh, apalagi ekonomi sulit, saya seorang ibu rumah tangga sebenarnya sangat membutuhkan pekerjaan tetap. Menurut saya seharusnya tidak perlu menggunakan umur maksimal minimal,” ujar Dwi mengungkapkan kekesalannya terkait batasan umur bagi pekerja perempuan saat melamar kerja.

Kendala Dwi tidak hanya di umur saja, tetapi juga kepemilikan sertifikasi. Dia hanya mengantongi ijazah SMK, sementara saat ini semakin banyak pekerjaan yang menuntut lulusan S1 atau S2.

Dwi mengatakan, dirinya hanyalah lulusan SMK perhotelan. Demi memenuhi kebutuhan sehari-harinya Dwi membuka usaha catering di rumahnya.

Pengalaman bekerja yang dia miliki antara lain bekerja di showroom mobil di Sragen, serta menjadi staf warung bakso Lapangan Tembak dan juga Warung Spesial Sambal.

Beberapa pengalaman kerja itu seharusnya bisa memberinya pekerjaan baru yang lebih baik, tapi nyatanya tidak.

Dwi juga berpendapat pembatasan umur bagi perempuan saat melamar kerja tidak melihat permasalahan angkatan kerja saat ini.

Dwi menilai, banyak angkatan kerja perempuan berumur di bawah 25 tahun belum memiliki niat bekerja setinggi perempuan berumur di atasnya.

Sudah tiga tahun Dwi menganggur sejak bekerja tahun 2020 lalu. Saat ini dia menginginkan bekerja sesuai bidangnya, yaitu memasak.

Di sisi lain, Dwi  mengaku tidak ada waktu baginya untuk re-skilling atau belajar keterampilan baru karena sehari-harinya sudah sibuk mengurus anaknya yang masih kecil.

Saat ditemui Solopos.com, Dwi mengaku hari itu akan menjadi hari terakhirnya mendatangi job fair. Bagi Dwi, kelelahan menunggu panggilan dan usaha itu cukup membuatnya gelisah.

Tenaga kerja perempuan lainnya, Dewi Rahmawati, beberapa kali terlihat kesal saat melihat syarat batas umur di lowongan kerja yang ada di job fair siang itu.

Ageisme
Grafis Ageisme. (Solopos.com).

“Rasanya semakin sulit mencari kerja, dulu sewaktu lulus S1 yang dicari adalah yang berpengalaman, bagaimana mungkin baru lulus kuliah sudah punya pengalaman kerja? Sementara saat sudah punya pengalaman kerja, untuk pindah lapangan kerja harus dibatasi usia,” ujar Dewi bercerita kepada Solopos.com, Selasa.

Dewi merasa kondisi semakin sulit sampai bertanya-tanya adakah permainan dari perusahaan dalam sistem rekrutmen pekerja.

Dia juga sering kali mendengar isu orang dalam, atau pekerja yang memiliki hubungan dengan pekerja di dalam perusahaan, akan mendapatkan pekerjaan yang ditawarkan tersebut.

Dewi saat ini sudah berumur 26 tahun dan sudah beberapa waktu menganggur setelah bekerja di bidang perbankan sebagai debt collector.

Pekerjaan pertama tersebut dia dapatkan pada 2019 silam saat Dewi baru lulus kuliahm, tetapi dia hanya bertahan menjalaninya selama dua minggu saja.

Selanjutnya dia bekerja di startup selama setengah tahun, tetapi pekerjaan itu juga tidak membuatnya betah.

Dewi sedang membidik pekerjaan di perusahaan tekstil atau industri padat karya lainnya, tetapi dia juga belum segera mendapatkan pekerjaan yang dia inginkan.

Dewi mengatakan sudah cukup lama dia menganggur. Beberapa kali dia mendatangi proses rekrutmen pekerja di Yogyakarta atau Semarang, tetapi dia sering kali gagal di tingkat interview.

Isu pembatasan dalam melamar pekerjaan sering kali ditemui di berbagai perusahaan, khususnya batasan umur bagi pekerja perempuan.



Ageisme Lowongan Pekerjaan

Diskriminasi usia dalam melamar pekerjaan disebut juga dengan ageism atau ageisme. Istilah ageism atau ageisme kali pertama digunakan oleh ahli gerontologi asal Amerika Serikat, Robert N. Butler untuk menggambarkan diskriminasi terhadap orang yang lebih tua.

Mereka yang berusia lebih tua dianggap sudah tidak produktif dan keahliannya tidak relevan dengan dunia pekerjaan saat ini.

Mengutip www.ageism.org, ageisme merupakan bias ketika seorang pekerja mendapatkan pandangan berbeda terkait umurnya. Sering kali, bias yang muncul yakni stigma soal menurunnya produktivitas seseorang setelah mencapai umur tertentu.

Bias yang lain yakni generasi muda dianggap memahami teknologi baru, seperti kecerdasan buatan atau ekosistem bekerja yang modern.

Anggota Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Solo yang juga seorang edupreneur, Astrid Widayani, menganggap fenomena bias umur bagi pekerja perempuan merupakan sebuah stigma yang sudah tidak relevan.

“Secara fenomena memang seperti itu, tetapi di dalam dunia usaha dan industri sebenarnya sudah ada aturan juga untuk pekerja wanita, jadi menurut saya para pemilik usaha dan pelaksananya sudah memahami aturan terkait ketenagakerjaan wanita. Saya kira sudah tidak perlu terpacu dengan stigma itu,” ujar Astrid saat diwawancara Solopos.com di sela-sela Job Fair Career Expo di Graha Wisata Niaga, Laweyan, Solo, Selasa (26/9/2023) lalu.

Astrid menjelaskan, stigma yang hadir bagi pekerja perempuan yakni selepas usia 25 tahun, produktvitas mereka akan turun karena fokus ke keluarga, anak, dan urusan domestik lainnya.

Padahal menurut Astrid, kompetensi di era modern ini tidak lagi dilihat dari gender, tetapi juga dari keterampilan di tempat kerja.

Namun Astrid menyadari, stigma yang melekat bagi perempuan tersebut tidak bisa lepas dari latar belakang budaya di Indonesia terutama di Jawa.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya