SOLOPOS.COM - Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sragen, Pujono Elli Bayu Effendi atau akrab disapa Bayu Asongan. Foto diambil Rabu (28/2/2023). (Solopos.com/Galih Aprilia Wibowo).

Solopos.com, SOLO — Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sragen, Pujono Elli Bayu Effendi atau akrab disapa Bayu Asongan sukses menjadi pengusaha setelah sempat bertahun-tahun menjadi pedagang asongan di kereta api sejak ia bersekolah.

Pria asli Kabupaten Ngawi ini sejak SMP telah berjualan gorengan dan minuman es seusai sekolah. Kemudian ia memutuskan untuk pindah ke Sragen karena merasa malu dengan teman-tamannya karena harus berjualan.

Promosi Sistem E-Katalog Terbaru LKPP Meluncur, Bisa Lacak Pengiriman dan Pembayaran

“Pindah ke Sragen, saya enggak pulamg Ngawi, tidur ikut Mas Pur. Ditanya pengin sekolah, saya pengin, pengin jadi tentara, akhirnya saya SMA saya sekolah di SMA penerbangan di Colomadu, tiap hari ngasong. Karena masih sekolah saya hanya mengandalkan satu kereta malam, dari Sragen ke Klaten, waktu itu jualan brem dan wingko babat. Waktu itu sekitar 1990-an,” ujar Bayu saat ditemui Solopos.com di rumahnya Selasa (28/2/2023).

Dari Sragen ia harus menaiki bus untuk sampai ke sekolahnya di Colomadu, Karanganyar. Ia seringkali melewati gerbang depan Universitas Sebelah Maret (UNS) Solo, ia berkeinginan untuk melanjutkan kuliah walaupun jadi pedagang asongan, kala itu.

Setelah lulus SMA, ia memutuskan untuk menikah. Waktu itu ia berpikiran dengan mengandalkan pendapatkan dari hasil berdagang di kereta tidak cukup untuk menghidupi ia dan istri, serta anak-anaknya.

“Makanya saya jualnya siang malam, teman-teman saya tidak punya pikiran seperti apa yang saya pikirkan, dia ya ngasong dapat [uang] ya sudah. Kalau saya memburu target, kalau siang enggak cukup, ya siang dan malam,” ujar Bayu.

Awalnya, ia hanya berjualan brem dan wingko dengan jalur kereta Sragen-Nganjuk. Namun, dalam satu waktu ia ketiduran dan sampai ke Jombang. Di sana ia bertemu dengan pedagang lain dan berjualan topi kulit.

Kemudian ia memutuskan untuk membeli topi kulit dari uang simpanan keluarga untuk dijual kembali. Ia membeli topi kulit dari perajin langsung seharga Rp2.500 menjadi Rp6.000.

“Kalau wingko babat dan brem sehari bisa untung Rp25.000-Rp30.000 sudah bagus, semenjak saya jual topi kulit sehari bisa untung Rp500.000, akhirnya saya mulai kelihatan hidup dari berjualan topi kulit ini,” papar Bayu.

Bayu menceritakan dalam tiga bulan berjualan topi kulit, ia mampu membeli tanah seluas 165 meter persegi seharga Rp11 juta. “Kemudian saya pinjam di bank untuk modal beli topi kulit, waktu itu ambil Rp3 juta. Anak buah saya banyak, ada 15 orang pedagang asongan, yang pengin mencoba berjualan topi kulit juga,” tambah Bayu.

Kemudian pada 1999 ia ditawari menjadi pegawai kereta api. Walaupun dengan 15 anak buah sudah cukup untuk menghidupinya, namun ia memutuskan untuk mengiyakan tawaran ini. Alasannya sederhana. Ia ingin agar anaknya dikenal sebagai Bayu Pegawai Kereta Api, bukan Bayu Asongan. “Pengin mencari status yang jelas buat anak saya, selang dua tahun jadi pegawai, saya mulai usaha VCD, waktu itu masih tren dan kemana-mana pangsa pasarnya,” terang Bayu.

Ia memutuskan untuk kembali berkuliah walaupun telah memiliki tiga orang anak. Dia menempuh pendidikan S1 di Universitas Surakarta (Unsa), kemudian S2 di Universitas Sebelas Maret (UNS) sesuai dengan keinginan awalnya.

“Saya sebenarnya tidak pernah ingin menjadi anggota legislatif, namun hal ini mengalir secara alami. Impian saya hanya sebagai saudagar. Jadi saya itu, tingkatan secara ekonomi yang pernah saya lewati pertama saya pedagang asongan, pedagang kaki lima, pedagang pasar, pelaku usaha, pengusaha. Setelah saya menjadi pelaku usaha ini tentu parpol mencari kader yang terbaik,” tambah Bayu.

Sejak 2004, ia memang telah mendirikan usaha seperti toko kelontong, alat kulis kantor, vulkanisir bank dan sekarang mulai merambah ke kaveling tanah dan perumahan. Saat ini Bayu telah memiliki 40 karyawan.

Karena dilahirkan miskin dan merasa hidup tertekan membuatnya selalu takut kehilangan pekerjaan dan tidak bisa hidup atau makan. “Sejak di kereta api, jualan brem awalnya, tapi berpikir di otak, kalau brem sudah enggak laku, saya mau kerja apa itu selalu tertanam. Khawatir kehilangan pekerjaan, sehingga feeling-nya tajam, prospek atau tidak,” pungkas Bayu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya