SOLOPOS.COM - Ilustrasi serangan penjahat siber atau ransomware. (goldenfast.net).

Solopos.com, JAKARTA – Tumbuhnya sistem kerja hybrid belum diimbangi dengan keamanan digital perusahaan. Hal ini membuat beban kerja tim pengelola informasi dan teknologi (IT) perusahaan bertambah berat.

Berdasarkan survei SASE Asia-Pasifik baru yang hasil ya dirilis oleh Fortinet, 96% responden di Indonesia menggunakan model kerja hybrid yang menyebabkan para karyawan bekerja dengan sistem perusahaan mereka lewat perangkat masing-masing. Hal ini mengakibatkan ada antisipasi lonjakan jumlah perangkat terkelola dan tidak terkelola yang kemudian menimbulkan tingginya risiko pelanggaran keamanan.

Promosi Sistem E-Katalog Terbaru LKPP Meluncur, Bisa Lacak Pengiriman dan Pembayaran

Sistem hybrid memunculkan branch office of one atau kantor cabang berpegawai satu orang yang menyebabkan sistem perusahaan diakses lewat perangkat manapun. Risiko ada pada perangkat tidak terkelola, meliputi pengguna dan data yang berlokasi di luar jaringan perusahaan.

Saat ini, lebih dari 30% perangkat yang terhubung ke jaringan di Indonesia tidak terkelola, sehingga memperbesar peluang terjadinya pelanggaran keamanan. Sebanyak 80% responden memperkirakan angka ini akan terus bertambah, dengan perkiraan penambahan sebesar 50% 2025.

Pertumbuhan kerja hybrid dan koneksi terkelola serta tidak terkelola menyebabkan lonjakan besar dalam jumlah insiden keamanan, dengan 74% perusahaan yang disurvei di Indonesia melaporkan peningkatan pelanggaran keamanan lebih dari tiga kali lipat. Insiden keamanan yang paling sering terjadi antara lain phishing, denial of service (DoS), pencurian data/identitas, ransomware, dan kehilangan data. Namun hanya 49% perusahaan di seluruh Asia yang memiliki personel keamanan khusus, membuat mereka lebih rentan terhadap insiden dan pelanggaran keamanan.

Vice President of Marketing and Communications Asia & ANZ, Rashish Pandey, mengatakan perusahaan menghadali tantangan mengamankan perangkat milik pegawai yang beroerasi di luar batas-batas kantor tradisional. “Survei ini menggarisbawahi betapa pentingnya strategi kramanan komprehensif bagi perusahaan, yang mampu mengatasi kompleksitas dan risiko yang muncul akibat pertumbuhan kerja hybrid,” papar Rashish.

Survei menunjukkan banyak perusahaan di Indonesia berencana berinvestasi pada solusi SASE Vendor Tunggal untuk meningkatkan postur keamanan sekaligus memberikan pengalaman pengguna yang konsisten bagi karyawan jarak jauh.

Kebutuhan akan solusi komprehensif yang memberikan postur keamanan yang konsisten bagi pengguna, baik di dalam maupun di luar jaringan, dengan tetap menyederhanakan pengelolaan kebijakan keamanan dan meningkatkan pengalaman pengguna bagi karyawan jarak jauh telah mendorong banyak perusahaan menjajaki SASE.

Saat menerapkan SASE untuk mengelola layanan jaringan dan keamanan, perusahaan mencari platform yang terkonvergensi untuk merampingkan proses operasionalnya. Berdasarkan survei, 86% responden di seluruh Indonesia lebih menyukai vendor tunggal untuk kapabilitas jaringan dan keamanan, sementara 68% mengonsolidasikan vendor keamanan TI mereka.

Lebih dari setengah (80%) responden memilih vendor tunggal untuk layanan keamanan yang diberikan melalui cloud dan SDWAN dengan menyebutkan berbagai manfaat seperti berkurangnya kesenjangan keamanan, peningkatan kinerja jaringan, kemudahan penerapan, dan kemampuan untuk mengatasi tantangan integrasi dan penskalaan.

Simon Piff, Research Vice President, IDC Asia/Pasifik, mengatakan temuan ini menyoroti pentingnya memprioritaskan postur keamanan dan investasi pada solusi cloud yang mampu berintegrasi mulus dengan solusi on-premise untuk mengelola lingkungan kerja hybrid dan memitigasi risiko.

“Pemilihan vendor tunggal dan konvergensi infrastruktur menunjukkan perlunya pengelolaan yang efisien, sementara arsitektur zero-trust dapat meningkatkan keamanan dan kedayagunaan. Perusahaan perlu mengatasi tantangan ini dan berinvestasi pada solusi keamanan yang mendukung tenaga kerja hybrid dan mengurangi ancaman keamanan.”

Survei dilakukan pada 450 pemimpin keamanan siber dari 9 lokasi di Asia (Hong Kong, India, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Korea Selatan, Thailand, dan Vietnam). Responden survei berasal dari sembilan industri, yaitu Manufaktur (14%), Ritel (13%), Logistik (14%), Pelayanan Kesehatan (13%), Layanan Keuangan (10%), dan Sektor Publik (11%).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya