SOLOPOS.COM - Suasana di Bank Rakyat Indonesia (BRI) Kantor Cabang Pembantu Mojosongo Solo, Jumat (18/8/2023). Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut jumlah tabungan bank umum di Indonesia terus menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. (Solopos.com, Ayu Prawitasari)

Solopos.com, SOLO—Ingatan Samin, penjaga SD Lodjiwetan No. 49, Solo, melayang pada sebuah pagi yang suram menjelang akhir 2022. Bulan September tepatnya. Ketika sedang membersihkan rumah, laki-laki tersebut baru menyadari uang tabungan di celengan kaleng miliknya hancur dimakan rayap. Tidak ada satu lembaran uang pun yang utuh. Semua rusak. Dalam sekejap, Rp50 juta tabungan hajinya lenyap. Sebuah pagi yang tak akan ia lupakan sepanjang hidupnya.

Promosi Telkom dan Scala Jepang Dorong Inovasi Pertanian demi Keberlanjutan Pangan

Namun, itu semua adalah cerita masa lalu, bagian dari perjalanan hidupnya. Mata Samin berkaca-kaca tatkala satu demi satu kenangan itu kembali. Waktu Samin terlipat. Orang-orang baik yang menolongnya selepas tabungannya lenyap hingga bayangan ibunya yang telah lama meninggal, yang selalu mengajarkan padanya pentingnya menabung, memenuhi ingatannya.

Sosok ibu adalah segalanya bagi Samin.

Samin tak pernah punya bapak, hanya punya ibu. Dua kali menikah dan selalu berakhir dengan ditinggal suami membuat ibu Samin enggan menikah lagi. Wanita itu membesarkan dua anak laki-lakinya dari dua suami berbeda seorang diri. Hasil dari berjualan jamu, makanan kecil, dan macam-macam barang di pasar, ibunya gunakan untuk menyekolahkan dua anaknya.

Rumah kecil dari bambu di Masaran, Sragen, Jawa Tengah, dan makan seadanya adalah gambaran masa kecil Samin yang serba terbatas. “Kami dulu miskin sekali. Rumah kami tidak layak, dari bambu semua dan itu pun hanya satu ruangan. Kecil sekali. Tapi, ibu tidak pernah mengeluh ataupun berutang. Ibu itu irit sekali. Sebagian hasil berjualan di pasar ibu simpan di lubang tiang bambu rumah. Dari kebiasaan ibu itulah saya belajar pentingnya berhemat dan menabung,” kata Samin, Sabtu (12/8/2023).

Kemiskinan membuat Samin tak bisa bersekolah dengan benar. Lulus SMP, setelah bekerja serabutan di sana-sini dengan hasil tak menentu, Samin akhirnya bertolak ke Ibu Kota dan baru kembali ke kampung halaman menjelang kematian ibunya. Sepeninggal sang ibu, Samin tak kembali ke Jakarta. Dia memilih bekerja di Solo sebagai penjaga sekolah.

Seperti juga ibunya, Samin bekerja dengan sangat keras setiap hari. Honor sebagai penjaga sekolah yang statusnya tenaga kerja dengan perjanjian kontrak (TKPK), bekerja serabutan kadang-kadang, hingga membantu sang istri yang berjualan di kantin sekolah ia gunakan untuk menghidupi keluarga. Namun, lebih banyak dari uang itu yang justru Samin tabung untuk biaya haji. Tabungan tersebut bukan hanya untuk dirinya sendiri, melainkan juga untuk istri dan dua anaknya yang kini sudah duduk di bangku kuliah.

Lalu seperti juga sang ibu, Samin tak pernah pergi ke bank. Ia simpan semua uangnya di sebuah kaleng di rumahnya. Samin kecil hingga dewasa tak tahu bagaimana itu bank, apa saja yang ada di bank, termasuk juga produk-produk keuangannya. Samin memang telah belajar dengan sangat baik cara mengelola uang, namun dia tak pernah mendapat pelajaran bagaimana cara menyimpan uangnya dengan aman hingga peristiwa tabungan dimakan rayap terjadi.

“Kejadian itu benar-benar menjadi pelajaran bagi saya bahwa menyimpan uang di rumah itu tidak aman. Saya beruntung Bank Indonesia [BI] mengganti uang saya yang rusak. Memang tidak semua, sekitar Rp20 juta. Saya juga mendapat bantuan dari mana-mana sehingga uang yang saya terima setelah kejadian itu jauh lebih banyak dibandingkan uang saya yang hilang. Semenjak peristiwa itu saya tidak berani lagi menyimpan uang di rumah. Saya simpan semua tabungan haji keluarga di Bank Syariah Indonesia [BSI],” jelas dia. Menyimpan uang di bank pada akhirnya diakui Samin membuat hidupnya lebih tenang.

Samin, penjaga SD Lodjiwetan No. 49, Solo, yang kisahnya sempat viral karena tabungan haji senilai Rp50 juta yang ia simpan di kaleng habis dimakan rayap, Sabtu (12/8/2023). Setelah kejadian itu, Samin kini menyimpan uangnya di Bank Syariah Indonesia (BSI). (Solopos.com,, Ayu Prawitasari)

Kisah sedih Samin memang telah berakhir bahagia. Namun demikian, kejadian tersebut juga menjadi potret bagaimana keberadaan perbankan yang belum terakses secara merata di beberapa kelompok masyarakat, khususnya mereka yang masuk lingkaran miskin dan berpendidikan rendah. Kondisi ini tergambar dari uraian Asian Development Bank (ADB) dan Redseer di laman mereka masing-masing.

Mengutip laman adb.org yang diakses Rabu (16/8/2023), Bank Pembangunan Asia menyebut Indonesia memiliki jumlah penduduk unbanked atau yang belum tersentuh layanan keuangan perbankan terbesar keempat di dunia. Masih menurut data ADB, hampir separuh dari penduduk dewasa di Indonesia tidak memiliki rekening keuangan formal yang dinilai sebagai ukuran dasar inklusi keuangan.

Kondisi tersebut selaras dengan laporan Redseer yang dikutip dari laman edbi.com pada hari yang sama. Lembaga itu menyebut masih ada 38% populasi Indonesia yang belum tersentuh layanan bank pada 2020. Persentase tersebut menempatkan Indonesia menjadi negara terbesar ketiga di Asia Tenggara (38%), tepatnya di bawah Vietnam (54%) dan Filipina (47%).

Redseer juga menyebutkan posisi Thailand jauh lebih baik dibandingkan Indonesia, yaitu di angka 15%, Malaysia 11%, dan Singapura 2%. Persoalannya, menurut Redseer, semakin besar populasi di sebuah negara yang tidak mengakses perbankan berelasi kuat dengan tingginya ketergantungan ekonomi negara tersebut pada uang tunai.

Selanjutnya, meski kondisi unbanked masih jadi persoalan di Tanah Air, data Badan Pusat Statistik (BPS) setidaknya menjadi angin segar bahwa keadaan tersebut bisa diubah. BPS menyebut jumlah tabungan bank umum di Indonesia terus menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Pada 2021 contohnya, data BPS menyebut ada 419,75 juta rekening di Indonesia. Jumlah itu meningkat dibandingkan 2020 yang hanya 366,83 juta rekening sehingga dari sisi kepemilikan rekening menunjukkan penambahan sebesar 14,43%.

Langkah pemerintah Indonesia yang mangajukan pinjaman senilai $500 juta dari ADB untuk mendorong inklusi keuangan lanjutan melalui reformasi diharapkan bisa semakin memperbaiki kondisi tersebut. ADB berharap dana tersebut dapat meningkatkan akses layanan keuangan bagi kelompok rentan, terutama usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM); perempuan; kaum muda; serta penduduk perdesaan.

LPS

Masih terkait akses perbankan, Sekretaris Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Dimas Yuliharto mengatakan peristiwa Samin dan rayapnya selalu bisa menjadi pelajaran bagi masyarakat Indonesia. Pesan itu dia sampaikan di laman lps.go.id pada akhir 2022 lalu. Dimas meminta masyarakat selalu menyimpan uang di bank karena menyimpan uang di rumah sangat berisiko rusak dan bahkan hilang.

“Jadi sudah saatnya sekarang ini masyarakat paham bahwa menabung di bank itu lebih aman karena dijamin LPS. Daripada berisiko uang hilang atau rusak karena berbagai sebab, lebih baik disimpan di bank,” kata dia.

LPS, sambung Dimas, menjamin semua tabungan masyarakat dengan nilai maksimal Rp2 miliar per nasabah di bank, termasuk BPR. Dengan demikian apabila sewaktu-waktu bank bangkrut atau ditutup, LPS akan menjamin tabungan masyarakat.

Dimas juga mengimbau masyarakat selalu memperhatikan syarat-syarat penjaminan LPS agar dana mereka aman. Syarat penjaminan yang dikenal dengan 3T (tercatat pada pembukuan bank; tingkat bunga simpanan yang diterima tidak melebihi tingkat bunga penjaminan LPS; dan tidak menyebabkan bank menjadi gagal, semisal karena memiliki kredit macet) wajib dipatuhi.

Tak hanya memberikan jaminan keamanan, LPS juga berkomitmen meningkatkan literasi keuangan di masyarakat, utamanya kalangan milenial agar lebih memahami produk-produk keuangan maupun investasi. Hal itu disampaikan Direktur Eksekutif Surveilans, Pemeriksaan, dan Statistik LPS, Priyanto Budi Nugroho, seperti dikutip dari laman lps.go.id.

“Literasi keuangan itu penting agar sejak awal masyarakat, khususnya kalangan milenial, dapat memilih atau memilah produk keuangan yang tepat dan juga mampu mengenali resikonya,” kata Priyanto. Saat ini, menurut dia, inklusi keuangan di Indonesia menunjukkan perkembangan bagus, terutama akses masyarakat terhadap produk-produk keuangan atau jasa keuangan.

Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) pada 2019 menunjukkan indeks literasi keuangan nasional naik menjadi 38,03%, meningkat dibandingkan hasil survei pada 2016 yang hanya sebesar 29,7%. Kondisi tersebut, menurut Priyanto, harus diimbangi dengan pemahaman produk-produk keuangan.

“Jadi misalnya masyarakat ingin berinvestasi di bidang keuangan, hal yang paling mudah adalah melihat dulu penyedia produk keuangan itu memiliki izin dari otoritas terkait atau dalam hal ini dari OJK atau belum. Dengan adanya izin maka ada jaminan otoritas yang mengawasi,” tambah dia.



Keberadaan otoritas penjamin dan pengawas inilah yang benar-benar dibutuhkan masyarakat agar mereka tenang. Setidaknya itulah yang disampaikan dua perempuan milenial saat berbicara perihal bagaimana cara mereka mengelola pendapatan keluarga.

Pendengar cerita krisis moneter dari para orang tua mereka itu berharap banyak dari Lembaga Penjamin Simpanan. Sejarah 16 bank yang dilikuidasi dan menimbulkan kegoncangan di masyarakat hingga menurunkan tingkat kepercayaan warga pada sistem perbankan diharapkan tidak lagi terjadi pada masa mendatang. Harapan itulah yang disampaikan anggota staf administrasi pascasarjana Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo Hany Septiana.

Belajar dari semua cerita orang tuanya, perempuan kelahiran 1990 ini  selalu memperhatikan kredibilitas bank saat menyimpan uang tabungan maupun keperluan lainnya. Saat ini, Hany punya rekening di sejumlah bank, yakni BNI, BRI, dan Mandiri. BNI berstatus sebagai rekening aktif, sementara dua lainnya hanya untuk simpanan.

Di BNI Hany juga mengikuti program tabungan pendidikan. Dengan sang anak yang baru duduk di kelas III SD, tabungan pendidikan tersebut baru bisa dicairkan ketika buah hatinya hendak masuk SMP.

Hany bercerita dengan mengikuti program tabungan pendidikan secara otomatis rekening BNI-nya dipotong Rp500.000 per bulan. Nilai itu, menurut dia, tidak memberatkan melainkan justru memberikannya ketenangan akan masa depan sang anak.

“Menabung itu hukumnya wajib. Inilah yang diajarkan orang tua kepada saya dan kemudian saya teruskan lagi kepada anak. Edukasi menabung penting supaya anak saya tahu pentingnya mengelola uang. Untuk tujuan itu, saya bikin rekening khusus bagi anak. Jadi kalau dia dapat uang saku dari keluarga besar atau ada uang saku berlebih, bisa dia simpan di tabungan. Saya juga selalu mengantar anak ke bank agar dia mengenal bank itu seperti apa,” kata Hany.

Pemilihan bank sudah Hany cermati benar. Dia selalu memilih bank besar dengan banyak nasabah sebagai penanda bank tersebut aman. Semakin banyak nasabahnya, terlebih apabila statusnya BUMN, menurut Hany, maka citranya akan semakin bagus. Karakter tersebut menjadi tanda keberadaan bank tersebut dijamin pemerintah dan tentunya berkorelasi terhadap keamanan nasabah.

Hal senada disampaikan seorang pengajar Bahasa Inggris di SMP Prawiramartha Kartasura, Sukoharjo, Festa Kurnia Rahmadani. Festa saat ini menggunakan tiga rekening di tiga bank, yaitu BSI, BRI, dan Mandiri. BSI dan BRI adalah rekening aktif untuk menerima gaji dan tunjangan sertifikasi serta melakukan transaksi, sementara Mandiri haya untuk tabungan. Festa mengaku selalu mempertimbangkan nama baik bank saat membuka rekening. Faktor keamanan baginya selalu menjadi nomor satu.

“Keamanan itu nomor satu ya. Itulah kenapa saya tidak mau mengendapkan banyak uang di Gopay atau Shopee Pay meski secara fungsi keduanya kan juga seperti bank. Pertanyaan saya, siapa yang menjamin uang kita di sana? Tidak ada kan? Jadi itu bukan keputusan bagus. Apalagi saya pernah mengalami peristiwa hampir tertipu di social commerce, TikTok tepatnya. Jadi barang yang saya pesan dengan barang yang sampai rumah itu berbeda. Untungnya saya pakai metode cash on delivery [COD], jadi uang saya aman karena pemesanan itu langsung saya cancel. Inilah kenapa saya bilang faktor keamanan itu nomor satu, jangan hanya tergiur harga murah atau janji-janji manis untuk investasi lalu kita dengan mudah terjebak,” jelas lulusan pascasarjana Kajian Budaya UNS tahun 2021 ini.

Tidak hanya tabungan, Festa dan suaminya juga punya deposito bersama di sebuah BPR. Suami Festa sudah memastikan BPR itu tercatat di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sehingga simpanan mereka aman. “Kami punya investasi yang tiap tahunnya memberikan kami bunga Rp4,5 juta. Lumayan kan untuk tambahan hidup,” kata Festa yang mengaku selalu berdiskusi dengan sang suami saat mencoba berbagai produk layanan bank. Bagi suami-istri ini elemen keamanan selalu berada di urutan pertama sedangkan bunga atau keuntungan barulah di urutan selanjutnya. Harus ada penjamin untuk semua simpanan mereka di bank dan di situlah LPS menjadi tambatan keduanya.

 

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya