SOLOPOS.COM - Angkringan Omah Semar Jl Duku No 2A Jajar, Laweyan, Solo, Senin (28/3/2022). (Solopos.com/Jafar Sodiq Assegaf).

Solopos.com Stories

Solopos.com, SOLO — Bisnis kuliner di Kota Solo yang tumbuh pesat bahkan disebut sebagai salah satu penopang usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Promosi Kinerja Positif, Telkom Raup Pendapatan Konsolidasi Rp149,2 Triliun pada 2023

Roda perputaran ekonomi dari sektor ini cukup tinggi. Diprediksi terus meningkat seiring dengan banyaknya event di Kota Solo.

Solo seolah layak disebut lokasi perjamuan yang jadi incaran wisatawan untuk berburu makanan. Wisata kuliner Solo tak pernah tidur, sejak pagi sampai malam, mulai makanan tradisional hingga kekinian.

Maka, tak heran jika banyak yang bilang berlibur ke Solo dipastikan bakal kenyang selama 24 jam.

Pagi hari, bakal disuguhi beragam jajan pasar yang bisa ditemui di Pasar Gede Solo. Selanjutnya, bisa menikmati berbagai jenis soto yang ada di sejumlah spot strategis kota.

Timlo yang segar juga layak dicoba sebagai santapan pagi. Selanjutnya, hidangan siang bakal disambut dengan selat andalan Solo yang juga menjamur di beberapa tempat.

Disusul satai kambing yang varian masaknya cukup beragam di Kota Bengawan ini. Bosan dengan satai kambing, Solo juga punya olahan satai kere.

Siangnya bisa menghabiskan waktu untuk nongkrong di sejumlah warung kopi yang menjamur di Solo, atau pun es krim legenda di pusat kota.

Selanjutnya, malam hari bakal disambut dengan nasi liwet dan gudeg ceker yang bahkan baru buka pukul 01.00 WIB. Ada pula wedang asle, dan dongo yang ada di hampir jalan protokol.

Satu kuliner yang legendaris dan tak ketinggalan yakni angkringan atau warung HIK. Bersama dengan Mendoan, Timlo Solo, hingga sate kere ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTb) oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.

Dalam sebuah wawancara dengan Solopos.com dua tahun silam, sejarawan Solo, Heri Priyatmoko, pernah menyebut  istilah HIK baru muncul sekitar 1980-an ketika konsep angkringan mulai menyebar ke Yogyakarta.

Bukti angkringan yang kemudian berubah menjadi warung hik adalah budaya asli Solo diperoleh Heri berdasarkan riset yang dilakukannya di Perpustakaan Nasional, beberapa waktu lalu. Saat riset itu, Heri menemukan Koran Jawi Swara terbitan 1913 yang menyebutkan peristiwa pencurian, kala itu malingnya bersembunyi di angkring.

Pada masa itu, listrik baru mulai digunakan di sekitaran Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Warga sekitar Solo, terutama Klaten, menangkap peluang itu dengan berjualan makanan keliling kampung.

Heri menambahkan angkringan kala itu adalah upaya bertahan wong cilik di kota raja dengan modal sedikit.

Akulturasi

Di Solo, makanan juga jadi ruang pertemuan kebudayaan. Sebut saja Jawa-Tionghoa dalam semangkuk wedang ronde dan asle, juga bakmi di Pasar Gede, Penulis asal Tiongkok, Gong Wen dalam bukunya Lifestyle in China: Journey into China (2007) yang telah ditransliterasi dalam Bahasa Inggris oleh Li Ziliang – Zhao Fei Fei, dan Li Zhao Guo, menyebut wedang ronde sebagai makanan tradisional asal Tiongkok.

Ada sejak Dinasti Han, nama aslinya tangyuan dengan isian bola tepung ketan manis atau asin, dicampur dengan kacang, dan guyuran kuah manis.

Tangyuan merupakan bahasa metafora dari reuni keluarga yang biasa dikonsumsi pada tanggal 15 bulan 1 penanggalan Imlek saat festival Yuanxiao atau Festival Lampion.

Sampai di Indonesia, kudapan hangat ini dicampur dengan rempah khas tanah air mulai jahe, cengkeh, dan serai pada kuah.

Berdasarkan data berupa foto yang dimiliki Komunitas Sejarah Moeara-Solo, masyarakat Tionghoa menjajakan kudapan mirip wedang ronde sekitar tahun 1940an, di masa Hindia Belanda.

Pada foto hitam putih tersebut ada dua perempuan dengan sackdress dan pria mengenakan jas berdiri di sebuah toko wedang ronde yang juga menjual beragam kue.

Paguyuban Tionghoa Solo Khong Kauw Hwee Solo yang eksis di tahun 1918 dan 1953 merilis beberapa foto kegiatan dalam majalah komunitas mereka.

Salah satu kegiatannya adalah kursus memasak dan membuat kue pada medio 1952 dan 1953.

Pada perayaan ulang tahun yang dirangkum dalam buklet komunitas mereka, sejumlah toko kue dan unit usaha masyarakat Tionghoa turut memberikan selamat.



Di antaranya perusahaan Kembang Gula Tan djin Siang, Pabrik Limon di daerah Lodji Wetan, dan dua toko roti yang masih eksis sampai sekarang; Roti Ganep beralamat di Jl Tambaksegaran 54 Solo, serta Toko Roti Oen di Jalan Ketandan 33.

Sinolog dari Universitas Indonesia, Agni Malagina, saat diwawancara beberapa waktu lalu mengatakan hubungan antara makanan Tionghoa dan Jawa bukan lagi berdekatan. Keduanya telah berasimilasi, saling mengisi dan memiliki.

“Tionghoa ataupun Jawa jadi part of our identity. Enggak bisa lagi bilang kamu lian, aku others. Kuliner China dan Indonesia bukan lagi saling mempengaruhi, tapi saling membumbui,” terang Agni yang beberapakali melakukan penelitian soal budaya Jawa – Tionghoa.

Agni kemudian menyebut beberapa asimilasi kuliner Jawa-Tionghoa seperti bakmi, bacang, wedang ronde, tahu, tempe, hingga bakpia. Bahkan bakpia yang bernama asli tou luk pia menjadi makanan khas Yogyakarta.

Agni menyebut, sebagai pendatang, etnis Tionghoa memang cenderung berjiwa survival. Akhirnya mereka banyak menyesuaikan dan beradaptasi dengan lingkungan yang ditempati.

Penyesuaian itu diaplikasikan dalam banyak hal, salah satunya makanan. Misalnya kecap manis yang disebut Agni Indonesia banget. Manisnya kecap itu karena campuran tebu dari Indonesia.

Mengingat, Tiongkok bukan negara produsen tebu.

“Tapi enggak hanya kuliner ya. Ya, kuliner dan fashion, pengaruhnya sama. Sandang dan makanan adalah kebutuhan pokok. Kalau sudah terpenuhi, ya nothing to complain about,” kata Agni saat diwawancara Solopos.com beberapa waktu lalu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya