SOLOPOS.COM - Ilustrasi keamanan siber. (Antara/HO)

Solopos.com, SOLO — Peneliti Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Muhammad Andri Perdana, mengatakan permasalahan keamanan siber di Indonesia terletak pada manajemen instansi maupun perusahaan.

Andri mengatakan, manajemen lembaga dan perusahaan Indonesia sering kali memaksakan tugas cyber security kepada tenaga IT yang tidak sesuai.

Promosi Telkom dan Scala Jepang Dorong Inovasi Pertanian demi Keberlanjutan Pangan

“Bahkan sering ditemui mereka mengalokasikan sumber daya yang tidak sesuai dengan skala organisasi tersebut, padahal perusahaan pada level manapun sudah sewajarnya menyewa jasa keamanan siber yang sesuai dengan skala perusahaan,” papar Andri saat dihubungi Solopos.com, Rabu (3/5/2023).

Dia juga berpendapat selihai apapun tenaga cyber security suatu perusahaan akan kewalahan jika berhadapan dengan skala serangan yang didukung oleh sumber daya dan infrastruktur yang dikembangkan secara masif dan berkala.

Kemudian, menurutnya maslaah selanjutnya adalah manajemen perusahaan atau lembaga di Indonesia tidak mendalami seberapa besar risiko serangan siber bagi organisasinya.

Hal ini akan membuat perusahaan menyewa jasa keamanan siber yang secara kualitas sebenarnya tidak sesuai dengan kebutuhan perusahaan atau lembaga masing-masing sehingga membuat biaya produksi membengkak.

Andri menyarankan bagi perusahaan dan lembaga perlu mendalami kebutuhan dan risiko keamanan siber pada organisasi masing-masing.

Hal tersebut dapat memberi solusi yang tepat dalam menentukan keputusan penambahan tenaga tambahan atau outsourcing jasa keamanan siber.

Manajemen pun juga perlu memastikan audit internal dan eksternal terhadap cyber security di masing-masing organisasi.

Juga, perlu diingat setiap harinya pelaku kejahatan siber tidak pernah berhenti mengembangkan cara baru membobol data berharga siapapun, termasuk lembaga dan perusahaan.

Penggiat cyber security, Dwi Hartanto, mengatakan ada beberapa penyebab masih terjadi kerentanan keamanan siber yang dialami perusahaan maupun lembaga di Indonesia.

“Mungkin karena keterbatasan anggaran guna mengelola keamanan situs dengan benar, tidak adanya sumber daya mengelola keamanan siber dengan benar, sering tidak update penggunaan perangkat lunak, dan juga harus kita akui serangan siber setiap harinya semakin kompleks,” papar Dwi saat dihubungi Solopos.com via sambungan telepon, Rabu.

Menurut Dwi, lemahnya keamanan siber di Indonesia juga diakui oleh Kementerian Kominfo.

Survei Kementerian Kominfo yang dilakukan oleh BDO terhadap talenta teknologi informatika di Indonesia mengungkapkan jika 9 dari 10 lulusan teknologi memilih menjadi developer perangkat lunak.

Sementara, hanya satu dari 10 yang berminat mendalami keamanan siber.

Dwi mengakui pelatihan keamanan siber cukup mahal, tetapi beberapa tahun belakangan Kementerian Kominfo mengadakan beasiswa pelatihan dan sertifikasi digital termasuk cyber security lewat Digitalent.

“Efektif ya Digitalent itu, beberapa program disertai sertifikasi cyber security internasional, dan masih terus dibuka pendaftaran batch-batch selanjutnya,” papar Dwi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya