SOLOPOS.COM - Serikat Pekerja dan Pegawai Perhutani (SP2P) bersama Perum Perhutani dan dekanat Fakultas Kehutanan UGM telah menyelenggarakan seminar di Gedung Grha Sabha Pramana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Sabtu (28/5/2022). (Istimewa)

Solopos.com, JOGJA-Pemerintah diminta mengkaji dampak penetapan kawasan hutan dengan pengelolaan khusus atau KHDPK terhadap eksistensi hutan di Pulau Jawa. Penetapan itu menyusul turunnya beredarnya SK Menteri LHK nomor 287/MENLHK/SETJEN/PLA.2/4/2022 tentang Penetapan Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) pada hutan negara.

Hal itu mengemuka dalam seminar yang diadakan oleh Serikat Pekerja dan Pegawai Perhutani (SP2P) bersama Perum Perhutani dan dekanat Fakultas Kehutanan UGM pada Sabtu (28/5/2022)  berlokasi di Gedung Grha Sabha Pramana Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Seminar itu mengambil tema Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) dan Eksistensi Hutan Jawa.

Promosi Telkom dan Scala Jepang Dorong Inovasi Pertanian demi Keberlanjutan Pangan

Hasil seminar ini menunjukkan bahwa kebijakan penetapan KHDPK belum dapat diterima semua pihak dan bisa memunculkan dampak berupa konflik. Terbitnya SK 287/2022 menyebabkan konflik dan beberapa daerah menjadi tidak kondusif dengan beredarnya isu bagi-bagi kawasan hutan ke pemangku baru.

Baca Juga: Tak Hanya Banjarnegara, Harimau Jawa Pernah Terlihat di Hutan Wonogiri 

Oleh karena itu, seminar ini mengusulkan untuk penundaan SK 287/ 2022, melakukan executive review dengan melibatkan berbagai pihak dan perlunya langkah-langkah penanganan konflik yang terjadi di kawasan hutan.

Seminar ini menghadirkan keynote speaker Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang diwakili oleh Sekretaris Jenderal LHK Dr. Ir. Bambang Hendroyono, MM., pembicara dari pakar lingkungan dan kehutanan Dekan Fakultas Kehutanan UGM Sigit Sunarta, S.Hut., MP, M.Sc., Ph.D., pakar Kehutanan IPB Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS., pakar sosiologi antropologi Dr. Arie Sujito, S.Sos., M.Si. dan pakar hukum Dr. Totok Dwi Diantoro, SH., MA, L.LM.

Baca Juga: 2 Pelaku Pembalakan Liar Hutan di Ponorogo Ditangkap, 3 Pelaku Diburu

Selain pembicara, penyelenggara juga menghadirkan penanggap antara lain pemerhati lingkungan Dr. Ir. Transtoto Handadhari, aktivis lingkungan Dr. Ir. Haryadi Himawan, pembina paguyuban LMDH Jawa Timur Ir. Kristomo, Yayasan JAVLEC Dr. Ir. Hery Santoso, MP. dan Ketua Almadhina Muhammad Adib. Moderator seminar oleh Teguh Yuwono, S.Hut., M.Sc. dan Widiyanto, S. Hut., M. Sc., Ph.D.

Ketua Umum SP2P Heri Nur Afandi dalam sambutan menyampaikan seminar ini dilaksanakan untuk menyikapi dinamika yang berkembang setelah beredarnya SK Menteri LHK nomor 287/MENLHK/SETJEN/PLA.2/4/2022 tentang Penetapan Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) pada hutan negara.

“Hutan negara berada pada kawasan Hutan Produksi dan Hutan Lindung di Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa Barat, dan Provinsi Banten seluas ± 1.103.941 hektare, terdiri atas hutan produksi seluas ±638.649 Ha [58%] dan hutan lindung seluas ± 465.294 [42%],” ujarnya dalam siaran pers yang diterima Solopos.com pada Minggu (29/5/2022).

Selain itu juga mempertimbangkan isu adanya risiko yang ditimbulkan pada aspek lingkungan, hukum, kesiapan pengelola baru, dan pengurangan karyawan.

Baca Juga: Hutan Bakau Berumur 750 Tahun di Belitung, Salah Satu Tertua di Dunia

Pakar hukum Dr. Totok Dwi Diantoro, SH., MA, L.LM dalam materinya menyampaikan SK 287 tentang KHDPK ini merupakan implementasi dari PP 23 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan dan merupakan turunan dari UU Cipta Kerja berpotensi melanggar Putusan MK 91/PUU-XVIII/2020 (ditetapkan tanggal 25 November 2021).

“Penetapan areal KHDPK seluas 1,1 juta hektare dapat dipandang sebagai keputusan yang bersifat strategis dan berdampak luas mengingat luas 1,1 juta hektare tersebut kurang lebih 45% kawasan hutan produksi dan hutan
lindung milik negara di Pulau Jawa dan Madura,” paparnya.

Pakar sosiologi antropologi Dr. Arie Sujito, S.Sos., M.Si.dalam paparannya menyampaikan perlu dibuat road map kebijakan yang komprehensif, tidak sekadar berhenti pada politik populisme. Karena itu fase transisional diperlukan dengan melibatkan publik dalam mengantisasipasi distorsi kebijakan, mempertimbangkan subjek penerima manfaat, dengan tetap menjaga nilai kelestarian alam, keadilan ekologi serta hutan yang bermakna sosial ekonomi.

Ir. Heri Santoso sebagai salah satu penanggap juga mengingatkan pemerintah agar tidak hanya fokus pada menetapkan kawasan KHDPK saja, namun juga harus menyiapkan pendampingan subjek pengelola KHDPK untuk dapat memperoleh market access player. Hal ini berkaca kepada Perhutanan Sosial yang telah berjalan seluas 4 juta hektare di luar pulau Jawa yang kurang lebih 50%-nya mangkrak.

Baca Juga: Kemolekan Hutan Pinus Gonoharjo Kendal Pikat Wisatawan

Para pembicara dan penanggap menyampaikan pentingnya eksistensi hutan Jawa agar dipertahankan mengingat hutan Jawa sebagai penyangga kehidupan di Pulau Jawa. Perwakilan Pemerintah Kabupaten Blora dan beberapa peserta yang berkesempatan menyampaikan pendapat juga meminta agar SK 287 tentang KHDPK ini agar ditunda pelaksanaannya karena di tingkat tapak riskan terjadi konflik.

Saat ini saja ketika SK tentang penetapan KHDPK beredar sudah terlihat dampaknya yaitu mulai ada kelompok masyarakat yang melakukan klaim kawasan hutan dengan memasang patok patok padahal secara eksisting pada lokasi tersebut sudah ada masyarakat lokal (LMDH) yang terlibat dalam kerja sama pengelolaan hutan bersama Perhutani.

Sementara itu, Sugito (Sekjen SP2P) selaku perwakilan SP2P menyampaikan sikap SP2P yaitu sebagai warga rimbawan yang setiap hari berkegiatan di hutan, menyemai benih pohon, menanam jati, menanam pinus, merawat pohon, berbagi dan bekerja sama langsung dengan kelompok masyarakat sekitar hutan dalam membangun hutan dan meningkatkan manfaat ekonomi hutan dan kawasan hutan bagi masyarakat desa hutan (tentang kerja sama ini, banyak contoh keberhasilan dalam pengelolaan hutan pada lokasi Kulin KK).

Baca Juga: Sekar Perhutani Solo Sebut SK Sakti Menteri LHK Ancam Hutan di Wonogiri

Selain itu melihat terbitnya SK 287 tentang KHDPK yang tidak dibarengi atau diikuti oleh kesiapan Kementerian LHK membuat aturan tata kelola kawasan KHDPK, tanpa penyiapan fase atau tahapan transisi yang jelas, tanpa penyiapan pemahaman kepada pihak yang berpotensi menjadi subjek pengelola KHDPK tentang pemulihan hutan, serta potensi pelanggaran terhadap Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tanggal 25 November 2020 maka kami menyatakan menolak SK 287 tentang KHDPK.

Dalam penutup seminar, moderator menyampaikan hasil seminar ini akan dibuat suatu rumusan rekomendasi tentang kebijkan KHDPK yang akan disampaikan kepada pemerintah dalam hal ini Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya