SOLOPOS.COM - Ilustrasi pabrik. (Freepik).

Solopos.com, BOYOLALI — Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) DPK Boyolali, Imam Bakhri, mengatakan Kabupaten Boyolali pro investasi dan lingkungannya kondusif bagi para investor untuk membangun usaha baru.

“Kalau dari Apindo selalu ada solusi untuk semua. Saya juga pede [percaya diri] untuk mengatakan kawasan industri di Boyolali ini harga tanah masih standar, lingkungan kondusif, infrastruktur memadai, serikat sudah terbangun dengan kuat sehingga cocok bagi investor mengembangkan usaha baru,” ujar Imam saat dihubungi Solopos.com via telepon, Selasa (23/5/2023).

Promosi Kinerja Positif, Telkom Raup Pendapatan Konsolidasi Rp149,2 Triliun pada 2023

Imam juga mengatakan sudah ada kesepakatan masuknya investor baru mengembangkan pabrik sepatu di Ngampel, Boyolali. Namun dia belum berkenan menyebutkan nama perusahaan atau kapan resmi beroperasi.

Dia meneruskan, walaupun akan ada daerah di Boyolali yang menjadi lahan jalan tol, harga tanah untuk membangun industri di sana tidak terpengaruh hal tersebut terutama karena upah minimum kabupaten (UMK) kompetitif bagi investor.

Namun, Imam mengakui ada plus minus dalam keputusan memberikan UMK rendah di Boyolali. Dia mengakui upah rendah banyak membuat tenaga kerja memilih merantau, suatu fenomena yang dia sayangkan.

“Kalau di sini [Boyolali] walau upah agak rendah tapi tenaga kerja tidak perlu meninggalkan keluarga, tidak perlu bayar kontrakan atau kos sehingga kebutuhannya tidak mahal. Lagi pula merantau seperti ke Jakarta masih membutuhkan banyak modal entah itu pendidikan atau dalam tanda kutip dibawa oleh orang dalam untuk bekerja di sana [perantauan],” urai Imam.

Imam mengklaim tenaga kerja di Boyolali tetap ada walaupun banyak yang merantau. Namun, setelah Lebaran 2023 beberapa perusahaan di Boyolali perlu melakukan tambal sulam pegawai agar memenuhi target produksi.

Sementara itu Ketua Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Jawa Tengah, Wahyu Rahadi, mengatakan meskipun investor diklaim tidak mau mengembangkan industri di Jawa Tengah, masih banyak perusahaan baru di Soloraya yang tumbuh walaupun skalanya tidak begitu besar.

“Kalau kita lihat di Sukoharjo, Karanganyar, dan Klaten itu industrinya tetap ada ya, tetapi kalau melihat Jawa Tengah memang cukup rumit karena banyak persoalan. Kawasan industri di Batang dan Brebes sayangnya tidak memiliki SDM yang mampu memenuhi pasar sehingga pengusaha terpaksa mengambil dari Cirebon atau Bandung, tentunya ini cost ekstra,” ujar Wahyu saat dihubungi Solopos.com, Selasa.

Mengenai pilihan pengusaha menyediakan upah rendah, Wahyu menambahkan industri di Jawa Tengah masih fokus dalam bentuk perusahaan padat karya yang membutuhkan tenaga kerja yang banyak sehingga upah ditekan agar biaya produksi masih murah.

Namun, hal ini diakuinya membawa kondisi baru yakni industri di Jawa Tengah kesulitan mencari tenaga kerja sementara angka pengangguran di Jawa Tengah cukup tinggi.

Kondisi diperburuk dengan tingginya turnover rate pegawai di Jawa Tengah yang membuat pengusaha ragu untuk merekrut tenaga kerja tersebut.

Wahyu menegaskan, upah minimum bukan satu-satunya kunci agar investor bisa masuk ke Jawa Tengah. Dia juga meyakini jika pemerintah terus menekan upah pekerja agar investasi dan industri tumbuh maka pemerintah justru menimbulkan kemiskinan struktural.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya