SOLOPOS.COM - Ilustrasi inflasi (Freepik)

Solopos.com, SOLO — Solo menjadi kota dengan inflasi tertinggi di Jawa Tengah (Jateng). Inflasi Solo lebih tinggi dibandingkan kota yang lebih besar di Jateng yakni Semarang.

Inflasi ini dipicu oleh kenaikan angka indeks harga konsumen (IHK) pada kelompok makanan, minuman, dan tembakau yang menjadi komoditas penyumbang terbesar inflasi. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Solo, Ratna Setyowati, menjelaskan dari enam kota di Jateng yang dihitung angka inflasinya, pada Juli 2023, tercatat semua kota mengalami inflasi.

Promosi Telkom dan Scala Jepang Dorong Inovasi Pertanian demi Keberlanjutan Pangan

Inflasi tertinggi terjadi di Kota Solo sebesar 0,31%, diikuti Kota Semarang sebesar 0,23%, kota Kudus sebesar 0,17%, Kota Purwokerto sebesar 0,15%. Kemudian disusul dengan Kota Tegal sebesar 0,08%, dan inflasi terendah terjadi di Kota Cilacap sebesar 0,02%.

Ratna menguraikan kelompok makanan, minuman dan tembakau mengalami kenaikan 0,66%, kemudian kelompok pakaian dan alas kaki naik 0,08% dan kelompok perumahan, air, listrik dan bahan bakar rumah tangga naik 0,19%. Hal ini ia ungkapkan dalam rilis Berita Resmi Statistik di Aula BPS Solo pada Selasa (1/8/2023).

Kota Solo cenderung mengalami inflasi lebih tinggi dibandingkan Ibu Kota Provinsi Jateng yaitu Kota Semarang. Komoditas terbesar penyumbang inflasi juga berbeda.

Dalam laman semarangkota.bps.go.id, inflasi di Kota Semarang terjadi karena adanya kenaikan pada IHK pada kelompok pendidikan sebesar 1,12%, kemudian kelompok transportasi sebesar 0,67%, serta kelompok makanan, minuman dan tembakau sebesar 0,30%.

Pengamat ekonomi Universitas Sebelas Maret (UNS), Bhimo Rizky Samudro, menguraikan fenomena ini menarik. Sebab, secara luas wilayah, Kota Solo tidak sebesar Kota Semarang dan juga bukan kota industri.

Ia menguraikan ada beberapa pemicu potensial yang menjadikan inflasi di Solo lebih tinggi. Pemicu pertama, lanjut Bhimo, disebabkan rantai pasokan di Solo yang bukan kota industri akan sedikit lebih panjang dibandingkan Semarang.

Kemudian masyarakat di Solo, terutama pada sektor kuliner terkenal murah dan enak. Bhimo menjelaskan pola konsumsi pada sektor kuliner cenderung lebih tinggi namun relatif sederhana. Hal ini, menurut dia tidak terlalu memberikan stimulasi multiplier effect.

“Misalnya orang-orang nyaman makan minum di HIK sembari mengobrol lama. Artinya makan minum tidak seberapa tapi lama, ber-leisure time. Sehingga aktivitas kurang berdampak tambahan atau multiplier. Hal ini cenderung memicu kenaikan aggregate demand atau permintaan agregat sehingga memicu inflasi,” papar Bhimo saat dihubungi Solopos.com pada Selasa malam.

Bhimo juga menjelaskan Kota Solo memang didesain sejak pemerintah Hindia Belanda menjadi pusat pemerintahan dan kota tempat tinggal, bukan sebagai kota industri. Artinya kota/kabupaten di sekitar Solo memiliki fungsi masing-masing.

“Kota Solo memang didesain untuk tinggal, leisure time, bukan didesain sebagai kota industri. Supporting system-nya memang dari wilayah sekitarnya,” tambah Bhimo.

Sehingga menurutnya, memang Kota Solo menjadi rentan inflasi, karena pasokan bahan pangan didukung dari wilayah sekitar. Selain itu, Kota Solo juga bergerak di sektor industri kreatif, misalnya pariwisata. Menjadi daya tarik wisata, munculnya event-event hiburan di Kota Solo juga memicu pada transportasi.

“Event-event besar, konser musik, dan seterusnya juga muncul konsumsi yang meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Tapi di sisi lain konsumsi meningkat atau memicu pertumbuhan ekonomi pasti selalu diikuti oleh permintaan yang memicu inflasi,” ujar Bhimo.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya