SOLOPOS.COM - Ilustrasi inflasi atau deflasi. (academyft.com)

Solopos.com, JAKARTA — Tingginya konsumsi masyarakat pada periode Ramadan dan Lebaran diprediksi akan mengakibatkan tekanan inflasi. 

Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman mengatakan, naiknya tekanan inflasi pun dikhawatirkan akan meningkat sejalan dengan kenaikan tarif Pajak pertambahan Nilai (PPN) dan harga BBM jenis Pertamax.

Promosi Telkom Apresiasi Wahyu, Warrior Telkom Akses yang Viral karena Bantu Petani

“Ditambah dengan kenaikan PPN dan harga Pertamax, hal tersebut tentu akan menambah tekanan inflasi,” katanya kepada Bisnis, baru-baru ini.

Baca Juga: Inflasi Tahunan Diprediksi 3,82 Persen, Begini Analisisnya

Faisal pun memperkirakan, tingkat inflasi pada tahun ini berpotensi mencapai kisaran 4 persen, lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya.

“Saat ini kami sedang merevisi forecast inflasi 2022 kami. Sekarang kami melihat inflasi bisa menyentuh kisaran 4 persen di akhir tahun,” jelasnya.

Sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia (BI) menyatakan bahwa pihaknya optimis laju inflasi akan terkendali pada kisaran 2 hingga 4 persen pada tahun ini.

Dia mengatakan, tekanan dari ketegangan geopolitik Rusia dan Ukraina memang telah memberikan dampak pada kenaikan harga komoditas pangan di dalam negeri, di samping komoditas energi. Tercatat, tingkat inflasi pada Maret 2022 telah mencapai 2,3 persen secara tahunan (year-on-year/yoy). “Keseluruhan asesmen kami sejauh ini, kami masih confident, inflasi masih bisa terjaga di sasaran 2-4 persen,” kata dia.

Baca Juga: LPS Sebut Inflasi Nasional akan Meningkat, Ini Sederet Faktornya

Perry mengatakan, BI masih akan terus mengkaji kenaikan harga barang ke depannya dan dampak rambatannya, terutama pada inflasi inti.

Sebelumnya, sejumlah pengamat ekonomi optimistis terhadap pemulihan ekonomi Indonesia pasca krisis akibat pandemi Covid-19 kendati dibayang tekanan inflasi akibat krisis geopolitik perang Rusia-Ukraina, dan momentum Ramadan dan libur Idulfitri diyakini mendorong ekonomi lebih bergeliat di tataran bawah.

Hal tersebut disampaikan oleh ekonom dari Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah (PEBS) Universitas Indonesia (UI) Banjaran Surya Indrastomo dan ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Rusli Abdullah dalam diskusi yang diselenggarakan IGICO Advisory, dengan mengangkat tema “Inflasi Meroket, Ancaman Nyata Pemulihan Ekonomi?” pada Rabu sore (13/4/2022).

Baca Juga: Solopos Hari Ini: Kompensasi Inflasi

Dalam paparannya, Banjaran mengatakan bahwa konflik Rusia Ukraina memantik peningkatan disrupsi rantai pasok global. Tak ayal hal itu mengerek kenaikan harga beberapa komoditas penting dunia.

Harga batubara menyentuh harga tertinggi sepanjang masa mencapai US$440 per metrik ton pada awal Maret lalu. Harga minyak mentah mencapai US$127,98 per barel pada Selasa (8/3) lalu, dan menjadi tertinggi sejak JUli 2008. Pun demikian dengan gas alam mencapai US$5,64/mmbtu.

Hal itu tentu mendorong inflasi secara mendunia. Banjaran memaparkan data per Maret lalu, inflasi Amerika Serikat (AS) mencapai 8,5% tertinggi sejak 1982.

Di Eropa di kisaran 7,5% tertinggi sepanjang sejarah, di Inggris 7% tertinggi sejak April 1982. Di India 7% tertinggi sejak November 2020. Di Korea Selatan 4,1% tertinggi sejak Desember 2011, di Brasil 11,3% tertinggi sejak November 2003. Sedangkan di Indonesia 2,6% tertinggi sejak April 2020.

Banjaran yang juga menjabat Chief Economist PT Bank Syariah Indonesia Tbk. (BSI) ini pun mengatakan inflasi di Indonesia berdasarkan harga bergejolak, yang mencatatkan pertumbuhan tertinggi sejalan dengan kenaikan harga beberapa komoditas pangan jelang Ramadan seperti cabai, minyak goreng, dan telur.

Baca Juga: Elpiji – Minyak Goreng, Ini Daftar Penyumbang Inflasi Solo Maret 2022

Kendati mendapat tekanan karena inflasi di tataran global meroket, Banjaran menilai masih optimistis dengan pemulihan ekonomi di Tanah Air. Tingkat inflasi Indonesia dinilainya masih wajar dan tidak selamanya buruk.

Memanfaatkan momentum Ramadan, inflasi yang sedikit naik membuat perputaran uang lebih banyak di masyarakat menandakan daya beli yang naik dan tentunya mendorong ekonomi lebih bergeliat di tataran bawah.

“Saya pikir kita harus tetap optimistis. Memang ketakutan pasar recovery ini tidak berjalan lancar. Dalam proses recovery itu dibutuhkan policy yang akomodatif. Pro terhadap investasi, pro terhadap borrowing terutama.
Memberikan stimulus dengan suku bunga yang rendah itu relatif supaya cost of borrowing bisa diputar dalam roda perekonomian. Saat cost of borrowing rendah berarti geliat terhadap permintaan pinjaman itu menaik. Dalam kondisi recovery itu dibutuhkan. Jadi sektor riil sektor dan finansial sama-sama ngegas,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya