SOLOPOS.COM - Ilustrasi keuangan. (Freepic.com).

Solopos.com, SOLO — Turunnya inflasi di Amerika Serikat dalam beberapa bulan terakhir disebut bisa menjadi stimulus untuk penguatan Pasar Saham dan Pasar Modal.

Hal tersebut juga diprediksi bisa membantu penguatan Rupiah terhadap Dolar Amerika.

Promosi Telkom Apresiasi Wahyu, Warrior Telkom Akses yang Viral karena Bantu Petani

Pengamat Ekonomi Universitas Muhammadiyah Solo (UMS), Anton Agus Setyawan, kepada Solopos.com, Kamis (4/5/2023), mengatakan turunnya inflasi di Amerika Serikat bisa berpengaruh terhadap pergarakan pasar saham dan reksadana di Indonesia.

Namun, ia menyebut perlu melihat kebijakan dari The Feds atau Bank Sentral Amerika.

“Tentu ini bisa sangat positif bagi pergerakan pasar saham ataupun reksadana. Tapi, perlu melihat juga bagaimana kebiajakan bank sentral terhadap suku bunganya,” ucapnya.

Anton menyebut, jika ada penurunan suku bunga, ada kemungkinan yang besar untuk Rupiah kembali menguat. “Kalau nanti suku bunga di Amerika Serikat itu turun, seharusnya Rupiah bisa menguat,” ucapnya.

Ia melanjutkan, saat ini resesi yang dikhawatirkan sejak akhir tahun lalu tidak seburuk yang diperkirakan. Anton menyebut, International Monetary Fund (IMF) bahkan memprediksi pertumbuhan ekonomid Asia sebesar 4,6 persen.

“Berdasarkan data dari IMF, mereka mengoreksi bahwa resesi tidak akan seburuk yang diperkirakan, bahkan potensi pertumbuhan ekonomi di Asia itu mencapai 4,6 persen,” jelasnya.

Terpisah, menurut Dosen Ekonomo Universitas Sebelas Maret (UNS), Bhimo Rizky Samudro, turunnya inflasi di Amerika Serikat merupakan dampak naiknya suku bunga yang ditetapkan oleh Bank Sentral Amerika.

Ia menyebut, naiknya suku bunga ini membuat pasar saham Indonesia sedikit terkoreksi.

“Mereka meningkatkan tingkat suku bunga untuk menarik spekulaan berinvestasi di Amerika Serikat. Ini berdampak permintaan agregat masyarakat terhadap barang dan jasa, akibatnya inflasi ini turun. Ketika itu terjadi, ada dampaknya bagi Indonesia di pasar saham,” ucapnya.

Bhimo menyebut, yang perlu dilihat adalah penguatan Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat justru berbanding terbalik dengan proporsi saham di IHSG yang fluktuatif. Ia menilai, hal ini terjadi karena para spekulan masih menunggu kebijakan yang dilakukan Amerika.

“Rupiah menguat terhadap Dolar Amerika Serikat sebesar 0,04 persen. Sedangkan di IHSG, menunjukkan terkoreksi setengah persen, proporsinya adalah 230 penguatan, 302 saham turun dan 100 saham flat. Artinya apa, ada spekulan yang ingin meletakkan saham, masih menunggu kebijakan di Amerika,” tegasnya.

Sedangkan dalam rilis yang diterima Solopos.com dari Syailendra Capital pada Kamis (4/5/2023), Inflasi di Amerika Seikat kembali mengalami penurunan selama sembilan bulan berturut-turut ke level 5 persen di bulan Maret 2023.

Angka Inflasi ini merupakan yang terendah sejak May 2021, dan tidak termasuk angka inflasi inti yang tidak termasuk makanan dan energi naik 5.6 persen yoy.

Ekspektasi kenaikan suku bunga The Fed untuk Federal Open Market Committee (FOMC) meningkat menjadi 80 persen pada 14 April 2023.

Hal ini dipicu oleh angka indeks consumer sentiment yang secara mengejutkan naik ke level 63.5 pada bulan April dari sebelumnya di level 62 pada bulan Maret.

Investor asing kembali melakukan pembelian bersih ke saham dan obligasi pemerintah, dimana selama tahun 2023 investor asing sudah melakukan pembelian bersih sebesar USD 961 Juta di pasar saham dan USD 3.98 Milyar di pasar obligasi.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya