SOLOPOS.COM - Ilustrasi tekstil dan produk tekstil. (Solopos/Dok).

Solopos.com, SOLO — Pengamat Ekonomi Universitas Muhammadiyah Solo (UMS), Anton Agus Setyawan, menilai terpuruknya industri tekstil lokal saat ini bukan hanya pengaruh dari impor China yang masuk ke Indonesia.

Menurutnya, tak adanya efisiensi atau inefisiensi menjadi faktor utama dari terpuruknya industri tekstil lokal saat ini. Ia mejelaskan jatuhnya industri tekstil dimulai sejak awal tahun 2000-an.

Promosi Telkom Apresiasi Wahyu, Warrior Telkom Akses yang Viral karena Bantu Petani

“Persaingan dengan China ini sebenarnya hanya salah satu sebab dari terpuruknya tekstil lokal. Karena sebenarnya sejak 2004 waktu itu karena ketinggalan dari segi teknologi, sebelumnya bahkan kalah dari Bangladesh dan India. Tekstil kita hanya peringkat ke 16 dunia secara poduktifitas, sudah lama tekstil kita enggak efisien termasuk dari berbagai masalah lain,” ucapnya kepada Solopos.com, Kamis (10/10/2023).

Anton juga mengatakan, salah satu nilai lebih industri tekstil lokal agar bisa bersaing dengan tekstil di dunia adalah harga buruh murah yang sudah tidak berlaku memasuki era reformasi. Ia menyebut, karena hilangnya harga buruh yang murah tersebut, industri tekstil lokal tidak punya bargaining position.

“Pasca orde baru dulu jadi andalan karena harga buruh yang murah, di era reformasi ketika serikat pekerja punya bargain position maka tidak ada lagi biaya tenaga murah karena adanya UMK dan UMR. Akhirnya jadi salah satu penyebab daya saing berupa upah murah tidak ada lagi,” ulasnya.

Anton juga melihat, saat ini industri tekstil semakin tidak sehat karena efisiensi yang dinilai hanya sebatas harga buruh. Menurutnya, yang harusnya jadi pertimbangan saat ini adalah efisiensi alat dan teknologi dalam industri tekstil

“Bahkan di beberapa daerah seperti di Jabodetabek sekarang banyak pabrik pindah ke Jawa Tengah dan Soloraya karena UMK nya murah. Ini menunjukkan tren tidak sehat, karena harganya murah bukan karena efisiensi tapi hanya sebatas tenaga kerja. Ketika kemudian produk China bisa lebih murah karena mesin dan tenaga kerjanya murah dengan skala yang besar, akhirnya kita semakin terpuruk, jadi kalau memang tekstil kita efisien dari segi produksi, kita mampu bersaing untuk pasar lokal dulu,” lanjutnya.

Ia kemudian menyoroti bagaimana harga produk Cina yang sangat murah di pasaran. Menurutnya, ini membuktikan efisiensi dari China dalam industri tekstil.

“Problemnya itu dari segi harga, harga produksi tekstil Indonesia sama dengan harga jual tekstil tiongkok, artinya itu kan murah sekali karena harga jual itu harga produksi plus markup. Ini karena memang China itu sangat efisien,” jelasnya.

Anton menambahkan saat ini yang harus dilakukan adalah revitalisasi baik dari segi regulasi ataupun dari produksi tekstil. Menurutnya, jika tidak ada revitalisasi maka, industri tekstil Indonesia akan semakin tertinggal jauh.

“Sampai kapan kita bisa berlindug dibalik undang-undang saja. Jadi kata kuncinya perlu revitalisasi, jadi pemerintah melindungi yang produksi juga melakukan pengembangan alat-alat, teknologi dan sumber daya manusia. Kalau tidak akan semakin sulit mengejar ketertingalan ini,” lanjutnya.

Terpisah,  Pengamat Ekonomi Universitas Sebelas Maret (UNS), Bhimo Rizky Samudro, mengatakan saat ini industri tekstil harus menunjukkan semangat dan ciri khas lokal agar bisa berbeda.

“Pelaku industri tekstil harus menunjukkan kekhasan mereka agar bisa bersaing. Jadi hasil produknya bisa berbeda dan nilai jual yang lebih dibandingkan hasil tekstil dari negara lain atau yang masuk ke Indonesia,” kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya