SOLOPOS.COM - Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Tengah, Ratna Kawuri dalam focus group discussion (FGD) Industry Trends bertajuk Membaca Arah Ekonomi Lewat Catatan Konsumsi Listrik di Radya Litera Griya Solopos, Sabtu (29/7/2023).(Solopos/Joseph Howi Widodo)

Solopos.com, SOLO — Industri tekstil bisa dikatakan sebagai industri yang tumbuh pesat di Jawa Tengah. Namun ada beberapa tantangan yang dihadapi sektor industri, khususnya untuk tekstil dan semen.

Hal itu disampaikan Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Tengah, Ratna Kawuri dalam focus group discussion (FGD) Industry Trends bertajuk Membaca Arah Ekonomi Lewat Catatan Konsumsi Listrik di Radya Litera Griya Solopos, Sabtu (29/7/2023).

Promosi Layanan Internet Starlink Elon Musk Kantongi Izin Beroperasi, Ini Kata Telkom

Menurutnya tantangan yang dihadapi industri tekstil dan semen di antaranya dari sisi infrastruktur, bahan baku impor, isu lingkungan, peningkatan SDM, update regulasi dan rekomendasi persetujuan impor.

“Sehingga industri tekstil dan pakaian jadi share-nya hanya 7,64%. Padahal kalau bicara komoditas andalan ekspor Jawa Tengah adalah PTP, kemudian alas kaki dan furniture,” ujarnya.

Ratna Kawuri, juga menyampaikan potret kinerja industri di Jawa Tengah, khususnya tekstil dan semen. Dari total 3.687 industri di Jawa Tengah, industri tekstil dan alas kaki menduduki jumlah terbanyak, yakni 924 industri. Selanjutnya ada industri makanan dan minuman sebanyak 887 industri.

Industri furniture sebanyak 666 industri dan industri kayu dan gabus dan barang anyaman dan sejenisnya ada 666 industri. Kemudian industri bahan kimia dan barang dari bahan kimia sebanyak 324 industri.

“Industri-industri tersebut tersebar di hampir seluruh kabupaten/kota,” kata dia.

Namun terbanyak ada di Kabupaten Semarang dengan 44 perusahaan. Di susul Kota Semarang dan beberapa wilayah di Soloraya.

Dari sisi realisasi investasi baik penanaman modal asing (PMA) maupun penanaman modal dalam negeri (PMDN), tekstil menduduki peringkat lima besar.

Sementara itu pakar ekonomi dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Lukman Hakim mengatakan konsep penggabungan atau incorporated manufaktur regional dengan mengedepankan klasterisasi bisa digunakan untuk menyelamatkan industri tekstil. Hal ini juga berpotensi memperkuat sektor manufaktur nasional.

Dia juga mengatakan listrik menjadi penopang utama produksi industri tekstil di Tanah Air. Tingkat konsumsi listrik di industri tekstil turun sejak munculnya pandemi Covid-19. Permintaan atau order tekstil dan garmen anjlok akibat menurunnya permintaan atau order dari buyer atau pelanggan.

“Ini harus menjadi perhatian pemerintah untuk menyelamatkan industri tekstil Tanah Air,” ujar dia, dalam forum yang sama, Sabtu (29/7/2023).

Guna menyelamatkan industri tekstil yang babak belur, Lukman mengusulkan konsep penggabungan atau incorporated dengan mengedepankan klasterisasi di masing-masing wilayah, misalnya, klaster tekstil di Soloraya seperti Solo dan Sukoharjo yang memiliki potensi industri tekstil.

Selanjutnya, klaster makanan dan minuman di Kudus dan sekitarnya. Sementara sektor otomotif di kawasan pantai utara (pantura) seperti Tegal, Cirebon, dan Pemalang.

“Konsep ini pernah muncul saat era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Ada masterplan percepatan industri. Menyinergikan kebijakan lebih komprehensif. Industri dibangun regional namun berimplikasi pada perekonomian nasional,” ujar dia.

Pengembangan industri manufaktur harus dilakukan secara terstruktur dengan sokongan pemangku kepentingan sebagai penyusun regulasi. Jika sudah ada regulasi, kolaborasi dibutuhkan agar kinerja industri manufaktur semakin moncer.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya