SOLOPOS.COM - Ilustrasi industri manufaktur. (Freepik.com)

Solopos.com, JAKARTA — Porsi kontribusi sektor industri pengolahan atau manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dinilai semakin melemah dari tahun ke tahun, bahkan posisinya kembali ke tahun 1991 pada masa sebelum reformasi.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru, proporsi sektor manufaktur terhadap PDB Indonesia turun ke angka 18,25 persen pada kuartal II/2023.  Penurunan mulai tercatat sejak 2002 yang merupakan rekor tertinggi sebesar 31,95 persen.

Promosi Telkom dan Scala Jepang Dorong Inovasi Pertanian demi Keberlanjutan Pangan

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan setelah tahun 2002, penurunan kontribusi manufaktur semakin mendalam hingga pascapandemi.

“Sekarang itu namanya sudah deindustrialisasi prematur karena kita sudah balik lagi ke tahun 1991, berarti progresnya di industri ini juga dipertanyakan dan ini memang sudah terjadi,” kata Bhima kepada Bisnis, diktuip Kamis (10/8/2023).

Kondisi tersebut disulut berbagai macam faktor seperti persaingan yang semakin ketat antara produk lokal dengan barang impor.  Kondisi ini cukup krusial mengingat untuk menembus pasar e-commerce saat ini pelaku industri lokal kesulitan.

Oleh karenanya, menurut Bhima, revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 50/2020 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) perlu dilakukan untuk mengendalikan arus barang impor di platform e-commerce dan social commerce.

Regulasi ini melarang produk impor dengan harga di bawah US$100 dijual di platform tersebut. Revisi Permendag No. 50/2020 sudah dalam tahap harmonisasi oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) dan kementerian terkait lainnya.

“Kedua, seharusnya pada waktu proses infrastruktur dibangun melibatkan bahan baku dan juga barang-barang dari produksi manufaktur lokal. Ini juga perlu dievaluasi bagaimana TKDN [Tingkat Kandungan Dalam Negeri] di proyek infrastruktur,” ujarnya.

Ketiga, manufaktur juga menghadapi isu logistik yang disebut sebagai high cost economy. Hal ini terlihat dari barang impor yang lebih murah dibandingkan produk lokal, menurutnya, barang-barang impor seperti Tiongkok sukses menekan biaya logistik.

“Biaya logistik mereka lebih bersaing. Biaya logistik ini kan terkait dengan kawasan industri, termasuk penindakan penindakan pungli, karena setiap ada pungli itu korupsi kan nambah biaya juga yang nanti akan dibebankan kepada konsumen,” tuturnya.

Di sisi lain, masalah keempat yakni kualitas ketenagakerjaan yang belum memenuhi para pengusaha di industri ini, apalagi saat ini manufaktur mulai bergerak ke arah industri 4.0.

Kalah dengan Vietnam dan Thailand

Terakhir, Bhima juga menyoroti perihal pembiayaan di industri pengolahan yang dinilai belum kompetitif. Dalam hal ini, Indonesia masih kalah jauh dengan industri di negara tetangga seperti Vietnam dan Thailand.

Model pembiayaan untuk manufaktur perlu kembali digodok, sebab selama ini dia melihat pelaku usaha hanya mengandalkan belanja modal dari sisa laba, bukan dari pinjaman perbankan.

Hal ini dikarenakan tingkat suku bunga yang mengalami tren naik dalam beberapa waktu terakhir.

“Sekarang, kalau pebisnis itu pinjam dulu untuk dia bangun pabrik, mungkin baru bisa produksi 5-7 tahun. Nah, selama itu impor dulu, kalau impor kan seminggu ke depan barang sudah masuk Indonesia, sehingga marginnya impor jauh lebih tinggi,” terangnya.

Di sisi lain, Tenaga Ahli Menteri Keuangan Bidang Industri dan Perdagangan Internasional, Kiki Verico mengakui penurunan kontribusi manufaktur terhadap PDB memang terjadi dan menjadi pekerjaan rumah bersama.

“Kontribusi manufaktur terhadap PDB itu menurun itu fakta dan itu yang harus diperbaiki. Saya tekankan bahwa tidak mudah menekankan bahwa deindustrialisasi hanya karena manufakturnya menurun terhadap GDP,” jelasnya.

Namun, dia menepis jika Indonesia masuk dalam kondisi deindustrialisasi sebab ada banyak indikator yang menunjukkan pertumbuhan ekonomi masih didorong oleh berbagai industri.

“Deindustrialisasi itu terjadi ketika ekonominya tidak kompetitif salah satu indikatornya adalah inflasi tinggi. Apakah di Indonesia inflasinya tinggi? Suku bunga di Indonesia tinggi? Sekarang kan inflasi itu rendah lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi jadi kita tidak bisa mengatakan bahwa terjadi deindustrialisasi,” pungkasnya.

Dia pun memproyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat melesat hingga 7 persen pada 2037 dengan syarat optimalisasi di sektor manufaktur seiring dengan masifnya perkembangan infrastruktur masa kini

Artikel ini telah tayang di Bisnis.com dengan judul Jalan Mundur Industri Manufaktur, Kembali ke 30 Tahun Lalu

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya