SOLOPOS.COM - Ilustrasi pita cukai rokok. (Dok. Solopos.com)

Solopos.com, JAKARTA – Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan menyiapkan 17 juta pita cukai baru untuk kebutuhan awal tahun 2024, sejalan dengan penyesuaian tarif hasil tembakau (CHT).

Direktur Jenderal Bea dan Cukai Askolani melaporkan pesanan pita cukai baru yang masuk tersebut telah sesuai dengan permintaan industri rokok untuk memenuhi kebutuhan Januari 2024.

Promosi Telkom dan Scala Jepang Dorong Inovasi Pertanian demi Keberlanjutan Pangan

“Kami sudah mempersiapkan 17 juta pita cukai untuk kebutuhan Januari 2024, dan ini sesuai dengan pemesanan industri rokok yang sudah menyampaikan ke kantor pelayanan bea cukai di banyak wilayah,” ujarnya dalam konferensi pers, dikutip Bisnis.com, Senin, (18/12/2023).

Askolani menjelaskan saat ini pita cukai baru tersebut telah siap dicetak oleh Perusahaan Umum (Perum) Percetakan Uang Republik Indonesia (Peruri).

Sementara itu, para pengusaha meminta DJBC dan Peruri untuk dapat menyiapkan pita cukai tepat waktu, sehingga penggunaan pita cukai baru dapat dilakukan per 1 Januari 2024.

“Percetakan sudah kami persiapkan di Peruri, mereka [industri rokok] hanya berpesan bahwa pencetakan sesuai dengan target di 1 Januari, sehingga mereka bisa menggunakan pita cukai baru,” lanjutnya.

Askolani menegaskan pihaknya terus melakukan pengawasan terhadap peredaran pita cukai palsu. Per Oktober 2023, DJBC berhasil meringkus 641 juta batang rokok dengan pita cukai palsu, di mana terbanyak berada di Jawa Timur.

Dari studi yang telah terlaksana, penindakan dari pita cukai ini berhasil meningkatkan produksi rokok sekitar 5,3% dan meningkatkan penerimaan negara senilai 0,3%. Pada 2022 lalu, pemerintah telah menetapkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok yang naik rata-rata 10% pada 2023 dan 2024.

Ketentuan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 191/2022 tentang Perubahan Kedua atas PMK 192/PMK.010/2021 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) berupa sigaret, cerutu, rokok daun atau klobot, dan tembakau iris.

Golongan sigaret kretek mesin (SKM) I dan II rata-rata naik antara 11,5 persen—11,75 persen, sigaret putih mesin (SPM) I dan II naik sekitar 11 persen, serta sigaret kretek tangan (SKT) rata-rata 5 persen.

Mengacu laporan APBN Kita edisi Desember 2023, penerimaan dari CHT menjadi penerimaan terbesar dari cukai, yakni mencapai Rp188,9 triliun per 12 Desember 2023, dari total Rp256,5 triliun.

Masih Murah

Center of Human and Economic Development (CHED) sebelumnya mengungkap hasil survei yang mengungkap konsumsi rokok di Indonesia terus meningkat lantaran harga jual rokok yang masih murah.

Padahal, pemerintah telah memutuskan untuk menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) untuk rokok sebesar 10 persen pada tahun 2023 dan 2024. Adapun, kenaikan CHT berlaku pada golongan sigaret kretek mesin (SKM), sigaret putih mesin (SPM), dan sigaret kretek putih (SKP) dengan tarif berbeda.

Laporan CHED bersama lembaga pengendalian tembakau seperti Udaya Central, CHED ITBAD, TCSC IAKMI, MTCC Unimma dan TC IPM menunjukkan bahwa harga rokok yang rendah membuat Indonesia sejajar dengan negara-negara miskin dan berkembang, bahkan termasuk dalam 15 negara dengan perokok terbanyak di dunia.

Sejumlah negara tersebut bekerja sama untuk melakukan survei pemantauan harga transaksi rokok di pasaran pada 81 kota/kabupaten dan mencatat temuan signifikan terkait penjualan rokok di Indonesia. Dalam laporan hasil survei disebutkan bahwa tarif cukai antar golongan jenis rokok dinilai masih berjarak jauh sehingga memicu pergeseran perokok ke kelompok rokok dengan harga yang lebih murah.

CHED menilai semestinya, jika pemerintah menaikkan tarif cukai hasil tembakau maka sekaligus juga menyederhanakan struktur tarif cukai secara konsisten dan meningkat setiap tahunnya.

Penyederhanaan struktur tarif cukai tembakau dengan menggabungkan SKM/SPM I menjadi satu tarif dan SKM/SPM II menjadi satu tarif, serta SKT atau SPT I menjadi satu tarif tertinggi. Dengan demikian, akan terjadi kenaikan harga jual eceran dan menurunkan keterjangkauan rokok oleh masyarakat, sehingga negara memperoleh manfaat yang optimal dari segi ekonomi dan kesehatan.

Selain menaikkan cukai hasil tembakau (CHT) dan harga jual eceran (HJE), upaya lain untuk menurunkan keterjangkauan rokok adalah dengan menetapkan harga transaksi pasar (HTP) 100% sama dengan harga jual eceran minimum

Sejalan dengan target RPJMN 2020-2024 untuk menurunkan persentase perokok di kalangan usia 10-18 tahun, evaluasi terhadap efektivitas regulasi kenaikan CHT dan Harga Rokok oleh Kementerian Keuangan menjadi langkah krusial.

Di sisi lain, pemantauan Harga Transaksi Pasar (HTP) rokok oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) menjadi fokus utama dalam upaya pengendalian tembakau di Indonesia. Kegiatan pemantauan HTP dilakukan tiga kali setahun di seluruh wilayah Indonesia, mengacu pada regulasi yang diatur oleh PMK 192 Tahun 2021 dan PER DIR 16 Tahun 2022.

DJBC membandingkan HTP dengan Harga Jual Eceran (HJE) yang tercantum dalam pita cukai, dengan persyaratan HTP minimal 85% dari HJE.

Penyesuaian pita cukai hasil tembakau pada setiap kemasan rokok juga diakomodir oleh regulasi, seperti yang diterbitkan dalam PMK tahun 2022. Berdasarkan data laporan CHED menunjukan bahwa distribusi rokok terbanyak terdapat pada pasar modern (25,28%) dan paling sedikit pada pedagang kaki lima (10,79%).

Jenis rokok yang paling dominan adalah Sigaret Kretek Mesin (SKM) dengan persentase 68,87%. Rata-rata harga transaksi pasar POS, dengan harga tertinggi untuk SKM, SKT, dan SPM terdapat di SPBU, sedangkan untuk SPT terdapat di PKL.

Data menunjukkan harga rokok di pasaran masih rendah dengan rata-rata harga Rp1.487. Kenaikan harga tidak merata di semua jenis rokok, bahkan harga Sigaret Kretek Mesin kategori 2 (SKM II) mengalami penurunan sebesar 0,1% dan penurunan harga paling tinggi terlihat pada Sigaret Kretek Tangan dan Sigaret Putih Tangan Kelas III (SKT/SPT III) sebesar 5,5%.



Mayoritas kemasan rokok berisi 12 sebnayak 38.92% dominan pada SKM dan SKT. Sebanyak 59,76% rokok dijual di bawah HJE, dan terdapat variasi signifikan dalam selisih harga antara HTP per batang dan HJE.

Fakta lain adalah tertutupinya PHW pada bungkus rokok oleh pita cukai pada rokok SKM sebanyak 89,60%, ini menjadi catatan penting bagi kementrian kesehatan untuk turut memantau fakta PHW pada bungkus rokok.

Sedangkan fakta tarif cukai didapati beberapa rokok memiliki tahun pajak di bawah tahun 2023, menandakan adanya potensi ketidaksesuaian regulasi.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya