Bisnis
Kamis, 16 Maret 2023 - 22:45 WIB

Harga Murah Meriah, Jadi Alasan Pakaian Thrifting Diburu dan Jadi Tren

Galih Aprilia Wibowo  /  Ika Yuniati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Pengunjung meramaikan acara Tirtonadi Solo Thrift Day di Convention Hall Tirtonadi, Solo, Jumat (15/4/2022). (Solopos.com/Siti Nur Azizah).

Solopos.com, SOLO — Polemik thrifting tengah jadi perbincangan hangat banyak kalangan karena dianggap memukul mundur pasar lokal.

Disusul adanya larangan dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait maraknya bisnis thrifting yang menjualbelikan produk pakaian dan sepatu bekas impor.

Advertisement

Presiden Jokowi bahkan meminta jajarannya membereskan persoalan impor ilegal terutama produk tekstil bekas yang mengancam keberadaan industri lokal. Jokowi memerintahkan jajarannya untuk mengungkap praktik importasi ilegal ini hingga tuntas.

Maraknya festival thrifting selaras dengan masyarakat yang memilih berburu baju bekas, karena dirasa lebih murah.

Advertisement

Maraknya festival thrifting selaras dengan masyarakat yang memilih berburu baju bekas, karena dirasa lebih murah.

Penggiat event thrifting, Sindu menilai dalam festival thrifting perputaran ekonomi yang besar, tidak hanya dari tenant yang tergabung dalam event tersebut, namun juga kepada tukang parkir, penjaga, dan lain-lain.

Animo masyarakat akan event thrifting yang besar bisa dilihat dari setiap digelar event, Nglapak Day, setidaknya ada 3.000 pengunjung event tersebut. Jika dikalkulasikan selama lima hari, paling tidak ada 15.000 hingga 20.000 pengunjung yang datang.

Advertisement

Banyak alasan konsumen memilih membeli baju bekas. Salah satunya diungkapkan oleh pekerja asal Solo, Sri Wulansih, 30. Sri memilih membeli baju bekas impor yang kerap ada dalam display event thrifting.

“Dapat sweeter tebal, Rp100.000 dapat dua baju, mereknya GAP,” ujar Sri saat dihubungi Solopos.com pada Kamis (16/3/2023).

Ia lebih memilih membeli merek ternama walaupun bekas, karena kualitas bahan yang ia rasa lebih bagus.

Advertisement

Walaupun menemukan cacat produk seperti noda dan bekas sobek, ia tidak mempermasalahkan hal tersebut, asalkan dalam batas wajar.

Untuk menyiasati jamur atau noda, ia selektif dalam mengunjungi setiap tenant saat event thrift, sehingga menemukan barang yang ia rasa cocok.

Serta sebelum digunakan ia mencuci kembali barang yang ia beli. Ketika ada event thrift di Solo, Sri selalu mengunjungi walaupun hanya sekadar melihat-lihat.

Advertisement

Hal senada diungkapkan oleh mahasiswa asal Solo, Ardiantoro. Ia sering mengunjungi event thrift. Biasanya ia membeli celana sesuai kebutuhannya. Karena ia rasa lebih murah.

Menurut Ardiantoro, thrifting banyak diminati karena menjual barang branded dengan harga terjangkau. Berbeda dengan preloved yang berasal dari tangan pertama penjual, sementara untuk thrifting yang tidak diketahui asal barang tersebut. Untuk dua celana jeans merek Uniqlo ia bisa mendapatkan dengan harga Rp60.000 hingga Rp100.000 yang tentu lebih murah dari barang baru.

Namun Ardiantoro mengaku cenderung memiliki kekhawatiran membeli baju impor bekas, karena tidak mengetahui siapa pemilik dan latar belakang kesehatannya.

Pemuda asal Cemani, Sukoharjo, Arya Candra, mengaku tidak tertarik dengan fenomena thrifting, terutama untuk produk fesyen, karena masalah kesehatan. Ia memilih membeli produk baru, yang menurutnya harga barang yang tidak jauh berbeda dengan yang dijual dalam event thrifting.

“Biasanya orang cari merek aja kalau thirfting, kalau saya cari butuhnya, dan mending beli baru. Brand-brand lokal juga murah-murah sekarang, makin berkembang,” ujar Arya.

Tren thrifting ia nilai mulai bergeser arah, bukan karena peduli lingkungan. Namun sekadar membeli kebutuhan.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif