SOLOPOS.COM - Ilustrasi gula pasir.(Freepik)

Solopos.com, SOLO — Kota Solo mengalami inflasi sebesar 0,22% pada akhir tahun atau sepanjang Desember 2023 ini. Beberapa komoditas mengalami kenaikan indeks harga, salah satunya yakni gula pasir.

Sementara itu, kalangan petani Soloraya menyebut kenaikan harga gula pasir yang terjadi beberapa bulan terakhir tidak berdampak pada mereka.

Promosi Telkom Apresiasi Wahyu, Warrior Telkom Akses yang Viral karena Bantu Petani

Berdasarkan berita resmi statistik Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Solo pada Desember 2023 Kota Solo mengalami inflasi sebesar 0,22% dengan Indeks Harga Konsumen sebesar 118,52.

Inflasi tersebut disebabkan adanya kenaikan harga-harga yang ditunjukkan oleh naiknya angka indeks harga konsumen.

Komoditas yang mengalami kenaikan harga sehingga memberikan sumbangan inflasi di antaranya adalah cabai merah, air kemasan, bawang merah, tomat, tarif angkutan udara, gula pasir, cabai rawit, kontrak rumah dan bawang putih.

Khusus untuk gula pasir, beberapa bulan terakhir kenaikan harga komoditas tersebut sudah dirasakan oleh masyarakat. Bahkan gula pasir juga telah tercatat menyumbang inflasi di tiga bulan terakhir.

Pada Oktober 2023, gula pasir menyumbang inflasi di Solo sebesar 0,01%. Pada November 2023, gula pasir juga memiliki andil inflasi sebesar 0,03%. Kemudian pada Desember 2023, gula pasir memiliki andil inflasi 0,01%.

Meski begitu, kenaikan harga gula pasir ternyata tidak berdampak pada petani tebu.

Ketua Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Sragen, Parwanto, mengatakan selama adanya kenaikan harga gula pasir di pasaran, petani tebu di Sragen tidak menikmatinya.

Dia menjelaskan harga beli gula dari tingkat petani rata-rata hampir sama, yakni di harga Rp12.250-Rp12.500/kg.

“Kalaupun akhir-akhir ini [harga gula pasir] sampai Rp16.000 kan sudah ditataran pedagang. Kondisi seperti itu sama saja dari dulu. Ini semacam ketidakmampuan petani menikmati harga, karena juga harus menanggung biaya operasional dan sebagainya,” kata dia, Selasa (2/1/2024).

Di sisi lain, sambungnya, petani tebu juga harus berhadapan dengan tantangan cuaca. Dimana ketika curah hujan terlalu tinggi atau bahkan kurang, juga akan mengakibatkan harga panen tidak maksimal.

Dia mencontohkan untuk 2022 dimana curah hujan yang terlalu tinggi. Sementara pada 2023 untuk panen 2024 ini, juga terkendala dengan curah hujan yang kurang.

Biasanya hujan sudah mulai turun oada Oktober, namun baru turun di Desember. Jika hal itu terus terjadi, tidak menutup kemungkinan petani akan banyak merugi.

Dia menjelaskan untuk menggarap tebu pada lahan per  hektare tidak cukup biaya Rp50 juta. Sementara untuk hasil panen dari lahan satu hektare idealnya bisa sekitar 1.000 kuintal tebu.

“Kalau harga beli [gula di petani] katakanlah Rp12,500 per kg dengan rendemen rata-rata 7, kemudian bagi hasil [petani 66%, 34% pabrik gula] paling bersihnya per kuintal tebu sekitar Rp45.000-Rp50.000,” kata dia.

Kemudian jika Rp50.000 tersebut dikalikan 1.000 kuintal tebu, hasilnya adalah Rp50 juta. Artinya hasilnya hampir sama dengan biaya operasional.

Sementara, jika hasil panennya hanya sekitar 600 kuintal dalam satu hektare, maka petani akan mengalami kerugian sekitar Rp20 juta.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya