SOLOPOS.COM - Ilustrasi beras. (Freepik)

Solopos.com, JAKARTA — Penguasaan pasar beras oleh segelintir perusahaan besar disinyalir jadi penyebab harga beras tak kunjung turun meski pemerintah rajin impor jutaan ton beras.

Perum Bulog tak mampu mengendalikan harga karena peran yang minim. Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti mengatakan, harga beras yang tinggi saat ini disebabkan oleh pasokan yang terbatas.

Promosi Layanan Internet Starlink Elon Musk Kantongi Izin Beroperasi, Ini Kata Telkom

Di sisi lain, dominansi pasar beras di dalam negeri dikuasai oleh segelintir konglomerat, alih-alih dikuasai oleh negara lewat Perum Bulog.

“Karena beras dikuasai oleh 9 naga, yang menurunkan harga beras ya harus lewat mereka,” ujar Esther dalam diskusi publik bertajuk Arah Kebijakan Pangan Indonesia Pasca Pemilu 2024, Jumat (9/2/2024).

Menurut Esther, saat ini market share beras hanya didominasi oleh segelintir orang maka bisa disebut sebagai oligopoli. Para konglomerat yang menguasai pasar beras saat ini menjadi penentu harga di saat pasokan beras dalam kondisi terbatas.

Sementara market share beras yang dikuasai oleh negara lewat Bulog masih minim.

“Hukum ekonomi itu namanya oligopoli, mereka lah price determinate, dan Bulog hanya jadi price follower doang. Itu enggak boleh terjadi,” jelasnya.

Oleh karena itu, Esther memandang perlunya perubahan kondisi tersebut dengan menjadikan Bulog menguasai sebagian besar pasar beras nasional.

Dengan begitu, pengendalian atas harga beras lebih mudah dilakukan oleh pemerintah. Selain itu, Esther pun memproyeksikan harga beras belum akan turun ke level Harga Eceran Tertinggi (HET) dalam waktu dekat.

Sebab peningkatan produksi beras menjadi solusi jangka panjang untuk pengendalian harga dan kemandirian negara dalam pemenuhan kebutuhan beras nasional.

“Bulog ini perannya harus mengimbangi peran mereka [industri beras], kalau bisa harus jadi kepala naganya,” tuturnya.

Sementara itu, General Manager UB Bulog Sentra Niaga, Topan Ruspayandi menyebut saat ini penguasaan beras komersial oleh Bulog hanya sekitar 300.000 ton per tahun.

Artinya, hanya sekitar 1% dari rata-rata konsumsi tahunan secara nasional yang mencapai 30 juta ton.

Dia pun mengakui, belum lama ini Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) pun telah bersurat ke Bulog dan mengusulkan agar perusahaan pelat merah itu setidaknya bisa mengusasi 20% market share untuk beras.

Di sisi lain, Bulog sendiri telah memiliki kapasitas untuk meningkatkan kapasitas komersil dengan membangun 10 pusat penggilingan padi baru hingga 7 pengolahan beras rice to rice maupun paddy to rice.

“KPPU menyarankan agar Bulog menguasai minimal 20% market share dari beras, supaya perdagangan beras di Indonesia ini bisa lebih terkontrol,” ungkap Topan.

Menyitir panel harga pangan Badan Pangan Nasional (Bapanas), rata-rata harga beras medium secara nasional per 9 Februari 2024 tercatat sebesar Rp13.600 per kilogram dan Rp15.530 per kilogram untuk beras premium.

Harga beras masih jauh di atas HET yang ditetapkan pemerintah dalam Perbadan No.7/2023 sebesar Rp10.900-Rp11.800 per kilogram untuk beras medium dan Rp13.900-Rp14.800 per kilogram untuk beras premium.

Sementara itu, berdasarkan data Perum Bulog, realisasi penyaluran bantuan beras pada 2023 mencapai 1.494.441 ton dengan rincian 640.590 ton di tahap I dan 853.851 ton tahap II.

Sementara volume bantuan beras yang telah disalurkan di 2024 sampai 6 Februari tercatat sebanyak 179.149 ton.

Artikel ini telah tayang di Bisnis.com dengan judul Pasar Dikuasai Segelintir Konglomerat, Harga Beras Meroket

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya