SOLOPOS.COM - Rachmat Gobel. (Instagram @rachmatgobel_rg)

Solopos.com, JAKARTA–Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Bidang Koordinasi Industri dan Pembangungan (Korinbang), Rachmat Gobel, mendukung langkah pemerintah yang menertibkan impor produk elektronika.

“Harus ada pemihakan yang jelas dan tegas. Ada tiga hal yang perlu menjadi pegangan: patuhi ketentuan TKDN, harus ada konsep industrialisasi, dan harus berwawasan lingkungan,” katanya melalui keterangan resmi yang dikutip Selasa (14/5/2024).

Promosi Sambut HUT ke-59, Telkom akan Gelar Digiland Run 2024 di Jakarta

Hal itu diungkapkan Gobel menyambut terbitnya Peraturan Menteri Perindustrian No. 6 Tahun 2024 tentang Tata Cara Penerbitan Pertimbangan Teknis Impor Produk Elektronik. Penerbitan peraturan itu merupakan tindak lanjut dari arahan Presiden Joko Widodo tentang defisit neraca perdagangan produk elektronika pada 2023.

Terdapat 139 pos tarif elektronika yang diatur dalam Permenperin tersebut, dengan rincian 78 pos tarif diterapkan Persetujuan Impor (PI) dan Laporan Surveyor (LS) serta 61 pos tarif lainnya diterapkan hanya dengan LS.

Jenis produk dari 78 pos tarif tersebut di antaranya adalah AC, televisi, mesin cuci, kulkas, kabel fiber optik, kulkas, dan laptop. Berdasarkan keterangan pemerintah, pada 2023, untuk produk AC saja, dari kapasitas terpasang produksi AC sebesar 2,7 juta unit namun realisasinya cuma memproduksi 1,2 juta unit.

Artinya, utilisasi produksinya hanya 43 persen. Namun ternyata, akibat banjir impor, pada tahun 2023 Indonesia mengimpor 3,8 juta unit.

Gobel mengatakan untuk mengerem laju impor sebetulnya Indonesia sudah memiliki ketentuan tentang Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang harus mencapai 40 persen. Namun ternyata ketentuan ini masih sering dilanggar.

Jika pun ada yang memenuhi ketentuan TKDN, katanya, ternyata hal itu masih bisa “diakali” sehingga seolah-olah memenuhi batas minimal 40 persen. Karena itu ia meminta pemerintah memberikan syarat kedua, yaitu keharusan ada konsep industrialisasinya.

“Tujuan mengerem laju impor dan ketentuan TKDN itu kan sebetulnya agar industri dalam negeri tumbuh dan investasi masuk sehingga tenaga kerja terserap, devisa terhemat, dan ekonomi tumbuh pesat. Nah, pemenuhan TKDN tanpa konsep industrialisasi hanya menghasilkan akal-akalan. Apa itu konsep industrialisasi? Dari setiap produk yang ada harus diimbangi dengan berdirinya industri komponen suku cadangnya,” katanya.

Adapun syarat ketiga, kata Gobel, keharusan produk yang ramah lingkungan. Hal ini sesuai dengan target pemerintah untuk mewujudkan net zero emission. Sebagai contoh ia menyebutkan maraknya impor AC.

Produk AC impor tersebut, katanya, sebagian besar merupakan berkualitas rendah, tidak ramah lingkungan, dan tidak memiliki suku cadang jika ada kerusakan. “Tiga hal ini sangat merugikan konsumen karena produk tersebut selain tidak membuat dingin ruangan juga cepat rusak dan akan menjadi barang rongsok,” katanya.

Jumlah Penduduk Menjadi Kekuatan Tersendiri

Gobel mengingatkan Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk yang sangat besar. Jumlah penduduk yang besar, lanjutnya, merupakan kekuatan tersendiri dan harus bisa didayagunakan dengan sebaik-baiknya.

“Jika tidak maka jumlah penduduk yang besar akan menjadi beban yang sangat besar,” katanya.

Pertama, jumlah penduduk yang besar berarti ketersediaan tenaga kerja yang besar, apalagi Indonesia sedang berada dalam fase bonus demografi. Ini berarti jumlah tenaga produktif sangat besar. Kedua, jumlah penduduk yang besar berarti jumlah pasar yang besar.

“Hal kedua ini yang bikin ngiler negara lain untuk menjadikan Indonesia sebagai target pasar mereka. Dengan segala cara pasti mau mereka lakukan. Jika pertahanan Indonesia mudah ditembus untuk menjadi banjir impor maka ada banyak kerugian yang menimpa Indonesia dan seperti memberi makan buaya yang kemudian mencabik-cabik kita sendiri. Ini namanya kebodohan yang berulang,” katanya.

Setidaknya ada lima kerugian yang diungkapkan Gobel akibat Indonesia menjadi negara pelahap impor. Pertama, uang Indonesia untuk membiayai pekerja dan keluarga negara lain. Kedua, pekerja Indonesia kehilangan lapangan pekerjaan.

Untuk AC saja, dari kapasitas terpasang pada industri AC hanya 43 persen didayagunakan. Ini berarti kerugian pada industri dan juga ketidakterserapan tenaga kerja.

Ketiga, jika produk impor tersebut digunakan untuk proyek pemerintah maupun BUMN maka dana negara dan dana APBN digunakan untuk membiayai negara lain. Padahal negara dengan susah payah mengumpulkan pajak, bahkan Bea Cukai dihujat netizen akibat pengetatan masuknya barang dari luar negeri.

“Sudah kerja keras, eh duitnya buat bangsa lain. Ini namanya apa coba?” katanya. Keempat, akibat tidak terserapnya tenaga kerja karena industrinya kebajiran impor maka Indonesia kehilangan potensi tenaga-tenaga kreatif karena mereka menganggur.

Kelima, akibat pengangguran yang meningkat maka kemiskinan pun meningkat. Mereka kemudian harus mendapat bansos maupun pembiayaan jaminan sosialnya ditanggung negara, yang semuanya menggunakan dana APBN. “Jadi akibat jebolnya tanggul impor, Indonesia rugi berlipat-lipat,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya