SOLOPOS.COM - Ilustrasi Ojek Online.(Solopos/Whisnupaksa).

Solopos.com, LONDON — Mayoritas kurir dan pengemudi ojek online atau sebanyak 66 persen lebih menyukai bekerja kantoran. Sebagian besar dari mereka ingin berhenti mengemudi dan memilih bekerja di kantor dengan jam kerja normal, pagi hingga petang.

Lingkungan pekerjaan yang buruk dan penghasilan yang tidak menentu menjadi alasan terbesar mereka. Hal tersebut terungkap dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Mahasiswa Doktoral London School of Economic, Yorga Permana beberapa waktu terakhir.

Promosi Sistem E-Katalog Terbaru LKPP Meluncur, Bisa Lacak Pengiriman dan Pembayaran

Dilansir dari rilis yang diterima Solopos.com, Yoga melakukan survei kepada 1.000 orang kurir dan pengemudi ojek online di Jabodetabek sepanjang 2021-2022. Selain itu, ia juga melakukan wawancara mendalam kepada sebagian responden.

Penelitiannya juga menunjukkan bahwa hanya 5 persen pengemudi ojek online yang sebelumnya bekerja sebagai driver ojek konvensional.

Sedangkan 49 persen merupakan karyawan kantoran, dan selebihnya adalah pelajar, pengangguran, atau mereka yang sebelumnya bekerja di sektor informal lain.

“Artinya aplikasi ojek online gagal mentransformasi pengemudi ojek konvensional. Sebab, nyatanya pengemudi ojek online adalah orang-orang yang sebelumnya memiliki pekerjaan tetap di kantor,” ucapnya melalui keterangan tertulis, Selasa (20/2/2023).

Yorga yang merupakan peneliti Doctoral Epistemic of Indonesian in the United Kingdom (Doctrine-UK) mengatakan, beragam kasus kecelakaan yang dialami pengemudi ojol karena mereka diduga kelelahan, harus menjadi lampu kuning bagi pemerintah untuk memperketat regulasi dan operator mengevaluasi model bisnis ojek online.

Di sisi lain, agenda penciptaan lapangan kerja di sektor formal harus menjadi prioritas. Sehingga menjadi pengemudi ojol bukan satu-satunya pilihan pekerjaan bagi masyarakat kelas bawah.

Meninggalkan Pekerjaan Lama

Banyak pengemudi ojek online yang meninggalkan pekerjaan sebelumnya karena iming-iming penghasilan tambahan yang menarik. Namun sebagian besar kini menyesal.

Sebab, penghasilan mereka kini terjun bebas.

Penelitian ini juga mengukur tingkat kebahagiaan dan tingkat kecemasan mereka dari skala 0 sampai 10. Diperoleh nilai rata-rata kebahagiaan pengemudi ojol adalah 6,0 dan rata-rata kecemasan mereka 6,4.

“Saya bandingkan dengan studi dari Universitas Oxford dan Uber kepada 1.000 orang pengemudi Uber di London dengan cara pengukuran yang sama. Rata-rata tingkat kebahagiaan mereka 7,5 dan kecemasan mereka 4,0. Artinya di masa pandemi ini, pengemudi ojol di Jakarta lebih banyak cemas-nya daripada bahagianya,” tambah Yorga yang juga tergabung dalam LSE-Southeast Asia Early Career Researcher Network, atau jaringan global para peneliti muda di bawah Pusat Studi Asia Tenggara LSE.

Meski lebih memilih untuk berhenti mengemudi, namun mereka mengaku sulit keluar. Sebab, terbatasnya pilihan pekerjaan. Sementara mayoritas pengemudi tidak memiliki sumber pendapatan lain.

Oleh sebab itu, Yorga mendesak pemerintah menyusun regulasi formal hubungan kerja antara perusahaan platform dan para pengemudi ojek online.

“Tanpa adanya payung hukum yang jelas, perusahaan bisa seenaknya memperlakukan pengemudi dan bersembunyi di balik ilusi ‘kemitraan” ujar Yorga.

Doctine- UK atau Doctoral Epistemic of Indonesian in the United Kingdom (Doctrine-UK) merupakan organisasi independen, yang mempersatukan seluruh mahasiswa doktoral Indonesia dari berbagai universitas di Inggris Raya.

Sekretariat organisasi kemahasiswaan ini berada di London.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya