Bisnis
Minggu, 29 Oktober 2023 - 16:00 WIB

Dorong Bisnis Properti, Ekonom Sebut Pembebasan PPN Rumah Jadi Pilihan Tepat

Galih Aprilia Wibowo  /  Ika Yuniati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi perumahan. (Solopos.com/Bony Eko Wicaksono).

Solopos.com, SOLO — Pengamat ekonomi dan properti Universitas Sebelas Maret (UNS), Ariyanto Adhi Nugroho menilai rencana pemerintah menanggung pajak pertambahan nilai (PPN) untuk pembelian rumah di bawah harga Rp2 miliar hingga insentif biaya administrasi pengurusan rumah murah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) merupakan kebijakan yang tepat.

Mengingat, beberapa waktu lalu pasar properti mengalami kondisi penurunan dari berbagai jenis kategori property termasuk sektor perumahan karena pandemi Covid-19.

Advertisement

Ariyanto menggambarkan siklus bisnis properti dikenal dengan nama property clock. Berdasarkan property clock tersebut ada beberapa tahapan yaitu boom market, slump dan recovery.

“Saat ini optimisme pasar properti cenderung meningkat ditandai dengan pembangunan properti di berbagai daerah dan harga sewa atau jual di pasar mulai meningkat. Namun tentunya masih banyak yang melakukan wait and see terkait perkembangan properti saat ini,” ujar dia saat dihubungi Solopos.com, pada Sabtu (28/10/2023).

Advertisement

“Saat ini optimisme pasar properti cenderung meningkat ditandai dengan pembangunan properti di berbagai daerah dan harga sewa atau jual di pasar mulai meningkat. Namun tentunya masih banyak yang melakukan wait and see terkait perkembangan properti saat ini,” ujar dia saat dihubungi Solopos.com, pada Sabtu (28/10/2023).

Lebih lanjut Ariyanto menguraikan bahwa peran pasar properti terutama perumahan sangat besar terhadap stabilitas ekonomi.

“Perlu kita ingat bagaimana krisis subprime mortgage yang terjadi di US berdampak besar ke ekonomi dunia. Setelah itu, berbagai negara memasukkan sektor properti sebagai salah satu instrument kebijakan makro prudensial yang banyak dikenal sebagai unconventional monetary policy yaitu salah satunya melalui kebijakan LTV [loan to value],” tambah ia.

Advertisement

“Walaupun setelah adanya shock tersebut pemerintah kemudian memberikan beberapa klasifikasi kebijakan yang dinamis sesuai dengan tipe dan kategori pembelian tetapi trauma shock tersebut masih diingat dalam pasar properti terutama oleh pengembang,” ujarnya.

Lain halnya dengan kebijakan LTV, saat ini masyarakat dihadapkan pada beban PPN pada pembelian perumahan pada pasar primer.

Ariyanto mengungkapkan backlog di Indonesia masih cukup tinggi tentunya ada banyak hal yang perlu dilakukan. Terutama untuk menjaga pasar properti tetap tumbuh baik dan juga masyarakat juga masih punya daya beli terhadap kebutuhan rumah.

Advertisement

Dia melanjutkan untuk MBR tentunya harus mendapatkan privilege dari pemerintah.

“Adanya pembebasan PPN bagi MBR yang melakukan pembelian rumah tentunya menjadi kebijakan yang tepat. Dari sisi momentum, saat ini sektor properti perlu didukung untuk bisa melakukan recovery dengan baik, dan dari sisi pengurangan backlog hal ini menjadi salah satu kebijakan insentif yang akan efektif,” terang dia.

Selain insentif tersebut, tentunya dari sektor perbankan juga perlu melakukan relaksasi agar proses pertumbuhan sektor properti akan lebih cepat.

Advertisement

“Kita ketahui bahwa mayoritas pembelian properti terutama perumahan masih tergantung pada sektor perbankan,” papar dia.

Namun, lanjut Ariyanto pemerintah harus tetap berhati-hati dalam memberikan kebijakan pada sektor properti.

“Seperti saat berkendara, kita harus pas dalam memainkan gas dan rem. Adanya dualisme permintaan pada sektor perumahan selain sebagai pemenuhan kebutuhan utama tetapi juga sebagai instrument investasi. Tentunya dengan perumahan sebagai instrumen investasi, banyak yang menjadi spekulan di sektor perumahan,” tambahnya.

Jika kembali pada property clock tadi, Ariyanto menilai pemerintah harus menjaga pasar properti di antara recovery dan boom market.

Ia menjelaskan jngan sampai boom market terlewati yang menjadikan pasar properti mengalami declining.

Hal itu bisa berisiko terutama pada sektor perbankan karena kredit yang mereka salurkan melalui KPR mempunyai jangka waktu yang panjang. Sedangkan kewajiban jangka pendek sektor perbankan juga harus bisa terjaga dengan baik.

Ariyanto menyebut sektor peroperti mempunya kontribusi pada gross domestic product (GPD) yang relatif besar mengingat material properti banyak.

Ia menambahkan sektor properti tergantung pada material seperti semen, kayu, besi, dan material yang lainnya yang tentunya itu memberikan multiplier effect terhadap sektor lain.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif