SOLOPOS.COM - Ilustrasi tabungan perumahan rakyat (Tapera). (freepik)

Solopos.com, SOLO–Pro kontra iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang dibebankan kepada pekerja dan pemberi kerja terus bergulir. Pemerintah dinilai perlu melakukan sosialisasi lebih intensif ke masyarakat.

Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Ariyanto Adhi Nugroho, menyebut Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang ditetapkan pada 20 Mei 2024 oleh Presiden Joko Widodo sejauh ini masih menuai pro dan kontra di masyarakat.

Promosi Sambut HUT ke-59, Telkom akan Gelar Digiland Run 2024 di Jakarta

Bagi sebagian orang, potongan Tapera sebesar 3% dengan komposisi 2,5% ditanggung pekerja dan 0,5% ditanggung perusahaan atau instansi, dan 3% bagi pekerja mandiri dinilai memberatkan.

Dalam Pasal 1 PP No. 21/2024, Tapera adalah penyimpanan yang dilakukan oleh peserta secara periodik dalam jangka waktu tertentu yang hanya dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan perumahan dan/atau dikembalikan berikut hasil pemupukannya setelah kepesertaan berakhir.

“Hal ini berarti ada dua kelompok manfaat yang akan diterima peserta. Satu dapat memanfaatkan fasilitas pembiayaan dan yang kedua adalah mendapatkan pengembalian dana beserta pemupukannya,” terang Ariyanto saat dihubungi Solopos.com, Kamis (30/5/2024).

Dia menilai permasalahan backlog di Indonesia masih tergolong tinggi. Pada 2023, backlog perumahan masih lebih dari 12 juta. Permasalahan ini, menurut Ariyanto, memang bervariasi, baik dari sisi demand terkait kemampuan masyarakat yang terbatas.

Terlebih, harga hunian yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Dari sisi supply, sediaan hunian dari pengembang juga belum mencukupi dari kebutuhan.

Permasalahan lain, sambung dia, adalah fasilitas pembiayaan yang mempunyai keterbatasan dalam mengakomodasi permintaan dengan alasan prudensial dalam penyaluran dana.

Secara prinsip, menurut Ariyanto, membutuhkan effort dan komitmen agar tujuan menabung tercapai. Pembelian rumah dengan cara menabung secara matematis membutuhkan waktu yang cukup lama.

“Hal tersebut menjadi alasan kuat bahwa pembelian rumah di Indonesia, mayoritas [lebih dari 70%] menggunakan fasilitas kredit atau pembiayaan,” kata dia.

Ariyanto menilai momentum seperti ini mengingatkan saat awal BPJS diterapkan. Pro kontra masyarakat kala itu juga mengemuka. Banyak permasalahan dari dua sisi, baik penyelenggara BPJS dan standardisasi pelayanan rumah sakit.

Namun, program tersebut dianggap membantu keadilan di masyarakat dalam mengakses fasilitas kesehatan. Pengalaman ini menurutnya harus menjadi perhatian pemerintah dalam menerapkan program yang melihatkan keikutsertaan masyarakat.

Kunci Keberhasilan Tapera

Kunci keberhasilan Tapera menurut Ariyanto adalah kepastian program fasilitasi pembiayaan dan transparansi pengelolaan dana. Mekanisme yang sudah diatur menjadi patokan siapa saja yang mendapatkan fasilitas dan besarannya. Bagi masyarakat yang tidak memanfaatkan fasilitas pinjaman dapat secara transparan bisa memantau tabungan yang ada di akun masing-masing.

“Kurangnya sosialisasi ke masyarakat juga menjadikan pro kontra program ini semakin hangat dibahas terlebih di media sosial. Apalagi saat ini pada masa transisi, sehingga perbedaan pandangan politik tentunya menjadi pembeda dalam melihat kebijakan ini,” paparnya.

Ariyanto menilai pemerintah juga perlu memahami bagaimana masyarakat masih banyak yang belum stabil secara finansial akibat pandemi Covid-19. Penerapan secara bertahap bisa diimplementasikan dan relatif bisa diterima oleh masyarakat.

Pekerja dibagi menjadi beberapa kelompok, meliputi unconstrained workers, supply-side constrained workers, demand-side constrained workers. Kelompok pekerja tersebut tentunya mempunyai masalah masing masing.

“Kelompok pertama jelas tidak ada masalah, mereka dengan mudah mendapatkan akses dari pembiayaan perbankan, dan kemampuan finansial yang baik. Kelompok kedua terdapat permasalahan mereka tidak mudah mendapatkan akses perbankan terkait pembiayaan atau kredit perumahan. Sedangkan kelompok yang ketiga mempunyai keterbatasan dari sisi pekerja sendiri, misal tidak mau memanfaatkan pembiayaan dengan alasan masing-masing,” jelas Ariyanto.

Poin penting dalam program ini menurutnya adalah semangat gotong royong dan kepedulian kepada sesama. Sebab, tidak semua orang mempunyai kesempatan yang sama dalam memenuhi kebutuhan perumahan.

“Bagi yang tidak mau memanfaatkan untuk pembelian rumah bisa memilih skema yang lain, yaitu untuk renovasi rumah atau nantinya akan diambil setelah periode selesai,” kata dia.

Menurutnya, besaran 3%, secara nominal bukan angka yang besar sehingga bisa diupayakan dengan bijak, Tapera mempunyai sifat sebagai tabungan yang punya beberapa pilihan manfaat.

Kuncinya adalah akuntabilitas dalam pengelolaannya. Baik menggunakan akun penyimpanan dana yang realtime dengan aplikasi yang mudah sehingga meningkatkan kepercayaan masyarakat untuk menaruh uangnya di program Tapera.

Standardisasi Mitra Penyedia Rumah

Dari sisi kelompok usia, tentunya yang paling diuntungkan adalah para pekerja baru (generasi muda) yang bisa mendapatkan fasilitas pembiayaan dalam pemenuhan kebutuhan rumah tinggal.

Untuk kelompok usia yang lebih matang tentunya sudah banyak yang mempunyai rumah tinggal sendiri harus rela ikut membantu masyarakat yang mempunyai keterbatasan dalam melakukan pembelian rumah. Baik permasalahan finansial dan keterbatasan mengakses pembiayaan atau kredit.

Selain itu, standardisasi mitra penyedia rumah (developer) yang ikut dalam program ini harus benar-benar dilakukan. Pertama terkait lokasi-lokasi perumahan yang baik dan layak, dan yang kedua berkaitan dengan kualitas yang standar.



“Sekali lagi, semangat gotong royong harus dikedepankan sehingga masyarakat luas mempunyai kesempatan yang sama untuk bisa memenuhi kebutuhan primer mereka, yaitu rumah,” tegasnya.

Sebelumnya diberitakan, kalangan pekerja dan pengusaha kompak menolak aturan iuran Tapera. Ketua Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Kota Solo, Wahyu Rahadi menilai aturan tersebut bisa saja lebih memberatkan pekerja.

Adanya tambahan potongan iuran Tapera 2,5% menurut Wahyu merupakan angka yang besar. Setiap bulan, upah yang diterima pekerja sudah dipotong iuran wajib, misalnya untuk jaminan hari tua sebesar 2%, jaminan pensiun 1%, dan iuran serikat pekerja 1%.

Jika ditambah iuran Tapera, hasil jerih payah pekerja harus dipotong hampir 10% untuk iuran wajib per bulan. Dengan upah minimum Kota Solo sebesar Rp2,25 juta kemudian dipotong beragam iuran tersebut, upah yang bakal diterima oleh pekerja tidak lebih dari Rp2 juta.

Menurut Wahyu aturan iuran Tapera ini perlu dikaji ulang, karena ditakutkan tumpang tindih dengan fasilitas jaminan hari tua. Terutama terkait sasaran program dan prosedur kebijakan ini.

Wakil Sekretaris Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Solo, Sri Saptono Basuki mengaku kalangan pengusaha juga menolak aturan tersebut. Menurut dia kondisi dunia usaha saat ini belum kondusif. Banyak tantangan yang dihadapi oleh kalangan usaha dari kondisi geopolitik global hingga impor.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya