SOLOPOS.COM - Ilustrasi utang. JIBI/Harian Jogja/Antara

Solopos.com, JAKARTA  Utang pemerintah tembus Rp7.420,47 triliun per 30 September 2022 atau naik Rp183,87 triliun hanya dalam satu bulan. Pemerintah mencatatkan utang senilai Rp7.236,6 triliun pada Agustus 2022.

Jumlahnya naik 2,54 persen menjadi Rp7.420,47 triliun pada September 2022. Dengan total utang pemerintah itu, maka rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) atau debt to GDP ratio per September 2022 menjadi 39,3 persen.

Promosi Layanan Internet Starlink Elon Musk Kantongi Izin Beroperasi, Ini Kata Telkom

Angkanya naik dari posisi Agustus 2022 yakni 38,3 persen, sejalan dengan penambahan nominal utang. “Rasio utang terhadap PDB dalam batas aman, wajar, serta terkendali diiringi dengan diversifikasi portofolio yang optimal,” tulis Kementerian Keuangan dalam buku APBN Kita, seperti dilansir dari Bisnis.com, Rabu (26/10/2022).

Utang pemerintah per September 2022 dibagi menjadi dua jenis yakni surat berharga negara (SBN) senilai Rp6.607,48 triliun atau 89,04 persen terhadap total utang dan pinjaman senilai Rp812,99 triliun atau 10,96 persen. Lebih lanjut, utang dari SBN domestik yang tercatat senilai Rp5.242,3 triliun dibagi menjadi dua, yaitu surat utang negara (SUN) Rp4.254,15 triliun dan surat berharga syariah negara (SBSN) atau sukuk Rp988,17 triliun.

Baca Juga: Utang Pemerintah Indonesia Capai Rp7.420,47 Triliun

Pemerintah pun mencatatkan utang SBN dalam bentuk valuta asing (valas) dengan total Rp1.365,15 triliun. Jumlah itu terdiri dari SUN Rp1.027,39 triliun dan SBSN Rp337,7 triliun. Total pinjaman hingga 30 September 2022 tercatat senilai Rp812,9 triliun yang dibagi menjadi beberapa jenis, antara lain pinjaman dalam negeri Rp16,02 triliun dan pinjaman luar negeri Rp769,97 triliun.

Berdasarkan data otoritas fiskal, rasio utang dalam dalam tahun terakhir terus meningkat, tepatnya sejak 2015. Kala itu, rasio utang tercatat hanya 27,46 persen terhadap PDB dan menjadi 40,73 persen pada tahun lalu.

Adapun, pada tahun ini, rasio utang diperkirakan masih cukup menjulang yakni di kisaran 41 persen terhadap PDB. Sebaliknya, rasio pajak makin tenggelam dan bahkan tak pernah beranjak lebih dari 8,5 persen dalam lima tahun terakhir. Pada tahun depan rasio pajak hanya ditargetkan 8,17 persen, lebih rendah dibandingkan dengan outlook tahun ini di angka 8,35 persen.

Baca Juga: Wow, Aset Asuransi Tembus Rp883,26 Triliun per Agustus 2022

Dilansir dari laman resmi Kemenkeu, selama ini, utang pemerintah menjadi isu yang sangat seksi, dan sering dibawa-bawa ke ranah politik. Beberapa pihak berpandangan, bahwa jumlah utang Pemerintah saat ini sudah mengkhawatirkan dan meragukan kemampuan Pemerintah untuk membayarnya.

Namun, dalam mengelola utang/pinjaman, pemerintah mempunyai aturan main yaitu undang-undang, best practices dan prinsip kehatian-hatian (prudent). Hal penting yang juga perlu dipahami bahwa utang tersebut digunakan dalam rangka mendukung pembangunan nasional, disepakati bersama antara Pemerintah dan DPR RI ketika membahas dan menetapkan APBN.

Utang Sebagai Instrumen Pembangunan

Pembangunan nasional membutuhkan dana yang besar, yang dicantumkan dalam APBN. Sumber penerimaan untuk mendanai pengeluaran APBN berasal dari Pendapatan Negara dan Penerimaan Pembiayaan. Pendapatan Negara berasal dari Perpajakan, Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan Hibah. Sementara Penerimaan Pembiayaan antara lain berasal dari penerimaan utang.

Selama kurun waktu tujuh tahun (2015-2021), pengeluaran belanja dalam APBN terus meningkat, sebesar Rp1.806,5 triliun (2015) menjadi Rp2.750 triliun (2021). Pengeluaran belanja digunakan untuk belanja pemerintah pusat serta transfer ke daerah dan dana desa. Belanja Pemerintah Pusat dialokasikan kepada kementerian/lembaga. Transfer ke daerah dan dana desa merupakan dana yang ditransfer ke pemda dalam rangka pelaksanaan desentralisasi fiskal dan menjadi pendapatan pemda yang bersangkutan.

Baca Juga: Karya Bakti Mandiri Klaten Bersinar Sasar Betonisasi Jalan di 2 Desa Sekaligus

Pada 2020 dan 2021, terjadi peningkatan yang signifikan terhadap defisit APBN yaitu 6,34 persen dan 5,7 persen. Peningkatan defisit tersebut dikarenakan menurunnya pendapatan negara dan terjadinya kenaikan belanja negara akibat pandemi Covid-19. Kenaikan belanja tersebut untuk kesehatan, Perlindungan Sosial (Social Safety Net), program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).

Belanja kesehatan antara lain untuk penyedian fasilitas kesehatan dan penyediaan vaksin Covid-19. Perlindungan Sosial berupa Bantuan Sosial untuk membantu masyarakat yang terdampak pandemi Covid-19. Program PEN untuk melindungi, mempertahankan, dan meningkatkan kemampuan ekonomi para pelaku usaha dalam menjalankan usahanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya