SOLOPOS.COM - Tangkap layar Direktur Utama (Dirut) PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), Iwan Setiawan Lukminto (kiri), bersama Presiden Direktur Solopos Media Group, Arif Budisusilo (kanan), dalam program Beyond the Limits yang tayang di kanal YouTube Espos Indonesia, Sabtu (11/3/2023). (Espos Indonesia).

Solopos.com, SOLO — Direktur Utama (Dirut) PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), Iwan Setiawan Lukminto, menyebut pakaian bekas impor sebagai sampah dari negara lain yang mestinya tidak dijualbelikan di dalam negeri.

Iwan mengakui penetrasi ke pasar domestik menjadi penolong Sritex saat ekspor produk tekstil berhenti pasca dihantam pandemi Covid-19 dan krisis global akibat perang Rusia-Ukraina. Kendati begitru, penetrasi di pasar domestik juga menghadapi tantangan berat, salah satunya terkait maraknya produk pakaian bekas impor.

Promosi Telkom dan Scala Jepang Dorong Inovasi Pertanian demi Keberlanjutan Pangan

“Harga thrifting itu kan harga sampah. Sampah kan mereka. Itu kan tidak beli, tapi dikasih. Itu belum dijamin SNI. belum dijamin oleh lab. Kandungan apa? ada penyakit atau tidak?” ujar Iwan Lukminto dilansir dari kanal YouTube Espos Indonesia yang tayang, Sabtu (11/3/2023) lalu.

Iwan Lukminto menegaskan pemerintah perlu turun tangan untuk mengatasi maraknya produk pakaian impor. Dia menyebut bila pakaian bekas impor itu dibiarkan beredar di dalam negeri, industri tekstil bakal mati karena tidak ada kreasi dan inovasi. Dampak besar lainnya, hal itu bakal membuat pengangguran merajalela.

Dia mengingatkan bila negara besar seperti Amerika Serikat tidak mengimpor pakaian bekas untuk dipakai, melaikan untuk didaur ulang atau recycle. “Industri tektil di Soloraya menangis. Menangis semua. Kalau pemerintah tidak turun tangan, mau jadi apa? jelasnya.

Gempuran thrifting yang kian masif dianggap membuat industri tekstil kian lesu, salah satunya ditandai dengan lesunya pasar domestik jelang Ramadan 2023 ini.

Iwan Setiawan Lukminto mengatakan pasar domestik tekstil lokal menjelang Ramadan 2023 ini tidak naik seperti tahun-tahun sebelumnya. Hal itu menurutnya disebabkan banyak hal, salah satunya yakni menjamurnya fenomena awul-awulan atau thrifting yang kian masif.

Menurut Iwan, mudahnya mengakali regulasi Indonesia dimanfaatkan pengimpor produk fesyen bekas untuk memasukkan barang ke Indonesia dan menciptakan gempuran thrifting yang kemudian berdampak nyata pada pelaku fesyen lokal.

Iwan mengatakan permainan nakal biasanya dimulai dengan mengakali harmonized system code (HS Code). HS Code merupakan daftar penggolongan barang yang dibuat secara sistematis dengan tujuan mempermudah penarifan.

Permainan inilah yang menjadi celah maraknya thrifting di Indonesia, termasuk di Soloraya. “Produsen rumahan kalah dengan penjaja fesyen impor bekas itu, kondisinya terjadi karena penjualan produk-produk itu di negaranya sulit dan mencari market, kebetulan Indonesia empuk dan longgar karena mudah diakali dan regulasi kurang kuat,” papar Iwan.

Iwan mengaku kondisi yang terjadi sudah sangat parah karena semua pelaku tekstil di Soloraya semakin kesulitan menyaingi fenomena awul-awul. Dia menambahkan pasar lokal adalah faktor penolong industri tekstil saat ekspor terdampak.

Kini setelah munculnya thrift, daya beli masyarakat terserap ke pasar thrift sehingga membuat uang hilang dari peredaran di masyarakat dan masuk ke impor produk bekas. Hal ini juga sering disebut sebagai capital flight.

Iwan mengatakan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) fesyen dengan skala produksi rumahan adalah yang paling terdampak dengan munculnya pasar impor bekas yang semakin menjamur di Soloraya.

Neraca komoditas adalah regulasi yang diharapkan Iwan bisa terlaksana dengan baik di Indonesia. Neraca komoditi berupa pengaturan dan pengendalian barang-barang yang masuk dan keluar di Indonesia.

“Industri tekstil berkaitan langsung dengan 19 kementerian, artinya hampir semua stakeholder itu berkesinambungan dengan tekstil. Kalau regulasi yang mengatur masuk dan keluarnya barang ke Indonesia tidak terkendali, industri ini bisa payah,” ujarnya.

Selain menerapkan aturan neraca komoditi, Iwan juga berharap pemerintah bisa menghentikan impor barang bekas yang mendorong thrift.

Dia mengatakan secara etika industri tekstil, produk fesyen bekas dilarang diimpor karena termasuk sampah. Selanjutnya, regulasi jangka panjang seperti membangun Badan Sandang perlu dilakukan pemerintah, menurut Iwan.

Badan Sandang ini menurutnya bisa menghasilkan pengusaha tekstil baru yang bisa tetap mendorong industri dalam negeri untuk terus tumbuh. Iwan mengatakan market share tekstil Indonesia di dunia hanya 1,7% sementara prospeknya bagus, pasarnya besar, dan industri Indonesia juga tidak kalah untuk bersaing dengan hasil tekstil negara lain.

Hal inilah yang menurutnya bisa tetap menumbuhkan industri tekstil untuk mendorong roda perekonomian masyarakat. Pemilik toko thrifting sepatu MRCL.ID, Andre, tidak sepakat  jika bisnis thrifting dianggap mengganggu industri lokal.

“Pasarnya sudah berbeda, menurut saya industri lokal dan thrifting tetap bisa berdampingan dan tidak saling mematikan usaha satu sama lainnya,” paparnya saat ditemui Solopos.com saat acara Surakarta Sneakers Day di De Tjolomadoe, Sabtu (4/3/2023).

Andre yang juga bagian dari panitia Surakarta Sneakers Day mengatakan acara tersebut diselenggarakan bersamaan dengan Indie Clothing Carnival. Hal itu menjadi contoh bahwa pasar fesyen impor bekas dengan industri lokal bisa berjalan beriringan. Bahkan, Andre mengaku antusiasme pengunjung Surakarta Sneakers Day masih lebih tinggi dibandingkan Indie Clothing Carnival pada awal Maret ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya