SOLOPOS.COM - Ilustrasi Pertumbuhan Ekonomi (Solopos)

Solopos.com, JAKARTA — Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) memproyeksikan rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025-2029 berkisar 5,6 persen-6,1 persen.

“Ini kami sudah memperhitungkan bagaimana kita meningkatkan produktivitas kita,” ujar Direktur Perencanaan Makro dan Analisis Statistik Kementerian PPN/Bappenas, Eka Chandra Buana dalam Forum Konsultasi Publik (FKP) 2023 dalam Rangka Penyusunan RPJMN 2025-2029 dan RKP 2025 yang dipantau secara virtual, di Jakarta, Kamis (28/12/2023).

Promosi Kinerja Positif, Telkom Raup Pendapatan Konsolidasi Rp149,2 Triliun pada 2023

Pemerintah menargetkan ada 50 persen peningkatan Total Factor Productivity (TFP), 5,2 persen Capital Productivity, dan 2,9 persen Labour Productivity. Untuk mencapai target tersebut, maka dibutuhkan foreign direct investment (penanaman modal asing) berorientasi ekspor, skema insentif, peningkatan belanja research and development (R&D), kenaikan belanja sumber daya manusia (SDM), dan iklim usaha kondusif yang mencakup transformasi tata kelola, kelembagaan, dan regulasi.

Melihat dari lapangan usaha, target yang hendak dicapai pemerintah ialah pertumbuhan sektor pertanian 3,5-4 persen. Kemudian juga sektor manufaktur dengan fokus hilirisasi yang akan menjadi target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,8-7 persen dalam lima tahun ke depan dengan 21,9 persen peranan terhadap Produk Domestik Bruto.

Pada sektor Akomodasi Makanan dan Minuman (Akmamin), pertumbuhan yang diharapkan sebesar 6,9-7,5 persen guna mengincar 19,7 juta kunjungan wisatawan mancanegara (wisman).

Adapun dari sisi pengeluaran, investasi ditargetkan tumbuh 6,4-6,7 persen, ekspor 7,2-7,9 persen, konsumsi pemerintah 5-5,7 persen, dan konsumsi rumah tangga 5,4-5,6 persen.

Semua target tersebut diupayakan berdampak terhadap penyerapan tenaga kerja di sektor manufaktur 27,9 persen pada tahun 2029 dengan peningkatan produktivitas 9,1 persen dan 34,09 juta jumlah tenaga kerja dengan 26,4 persen peningkatan produktivitas. Dengan demikian, nilai Incremental Capital Output Ratio (ICOR) akan menurun sekitar 5 persen.

Dengan gambaran tersebut, maka kebutuhan investasi yang perlu diraih untuk periode 2025-2029 sekitar Rp45.510 triliun-Rp45.870 triliun, di mana pemerintah itu hanya sekitar 9 persen-11 persen, BUMN 8,3 persen-8,9 persen, dan swasta 82,5 persen-80,2 persen.

“Mau nggak mau, suka tidak suka adalah kita harus meningkatkan kolaborasi antara pemerintah, swasta, dan akademisi. Inilah yang kami coba gambarkan bahwa kolaborasi ini akan menjadi sangat penting, sehingga kebutuhan tersebut tadi bisa kita penuhi di dalam lima tahun ke depan,” ujar Eka seperti dilansir Antara.

Peran dari pihak swasta berkaitan fokus industri kimia, industri logam dasar, industri alat angkutan, dan industri elektronik. Pemerintah dapat memberikan arah kebijakan fiskal, dukungan regulasi, kelembagaan dan prioritas pendanaan untuk transformasi pembangunan, serta dukungan dalam pengembangan R&D. Terakhir, akademisi dalam berperan dalam pengembangan R&D.

Di sisi lain, perlambatan ekonomi global dinilai akan memicu potensi terjadinya stagnasi perekonomian di Tanah Air pada 2024. Hal itu terlihat dari melemahnya permintaan ekspor Indonesia, terutama dari China, Amerika Serikat, Jepang, dan Korea Selatan.

“Kita masih punya masalah dari sisi penurunan ekspor impor sampai tahun depan, harga komoditas masih belum bergejolak baik akibat pelemahan ekonomi dunia, sehingga itu yang membuat ekonomi kita tidak bertumbuh tinggi,” kata Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad, Rabu (27/12/2023), seperti dilansir Antara.

Tauhid menguraikan perlambatan ekonomi global dapat mengakibatkan ekonomi Indonesia di tahun depan mengalami stagnasi bahkan mungkin sedikit melambat walaupun tidak besar.

Selain itu, Tauhid mengatakan faktor domestik yakni daya beli masyarakat Indonesia yang melemah juga menjadi faktor yang menghambat pertumbuhan ekonomi.

“Walaupun pemerintah menyiapkan bantuan sosial untuk masyarakat untuk menjaga daya beli, tetapi nilai bansos yang diberikan kepada masyarakat itu nggak cukup untuk meningkatkan daya beli, jadi rata-rata hanya untuk mempertahankan dari kenaikan harga yang bersifat volatile food,” tambah Tauhid.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya