SOLOPOS.COM - ilustrasi industri minuman (Dok)

Solopos.com, JAKARTA — Akibat tekanan harga bahan baku, industri minuman ringan kesulitan untuk menaikkan harga karena daya beli yang belum sepenuhnya pulih.

Ketua Umum Asosiasi Industri Minuman Ringan (Asrim) Triyono Pridjosoesilo mengatakan daya beli yang baru mulai akan pulih menjadi pertimbangan pelaku industri untuk mengurungkan langkah penaikan harga.

Promosi Kinerja Positif, Telkom Raup Pendapatan Konsolidasi Rp149,2 Triliun pada 2023

“Ekonomi baru mulai kembali sehingga daya beli mereka belum rebound. Kenaikan harga menurut kami itu opsi paling terakhir yang akan kami lakukan kalau tidak ada cara lain,” katanya kepada Bisnis, Selasa (12/4/2022).

Sejauh ini, pelaku usaha melakukan sejumlah upaya efisiensi dalam hal penggunaan bahan baku, biaya logistik, maupun operasional. Namun demikian, efisiensi tenaga kerja diupayakan untuk tidak dilakukan.

Baca Juga: Industri Makanan Tak Akan PHK Buruh

Berdasarkan pengalaman selama pandemi, perusahaan yang merumahkan karyawannya, mengalami kesulitan rekrutmen ketika ekonomi mulai membaik saat ini. Sedangkan mengenai kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 11 persen mulai bulan ini, pengusaha umumnya masih dapat menyeimbangkan antara PPN masukan dan keluaran.

“Kalau PPN untungnya ada masukan dan keluaran, bisa dikompensasi. Kalau [kenaikan] harga-harga komoditas, itu kesulitan bagi kami. Di satu sisi kami tertekan, kami juga tidak bisa menaikkan harga,” ujarnya.

Triyono memproyeksikan industri minuman ringan dapat tumbuh antara lima persen hingga 10 persen pada tahun ini. Jika tercapai angka pertumbuhan tersebut, maka kinerja industri akan menyamai capaian sebelum pandemi.”

Baca Juga: Galon Isi Ulang Terancam Punah, Apa Dampaknya Bagi Industri Minuman?

Di sisi lain, dampak perang Rusia-Ukraina yang berkepanjangan terhadap industri dan perdagangan global semakin mengkhawatirkan.

Di industri makanan dan minuman, dampak tidak langsung yakni pasokan dan harga bahan baku yang memburuk. Hal itu mengingat Ukraina merupakan pemasok gandum kedua terbesar ke Indonesia pada tahun lalu setelah Australia.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi), Adhi S Lukman mengatakan perlu penguatan struktur industri dalam negeri, khususnya di hulu. Pasalnya, industri Mamin secara konsisten tumbuh bahkan di masa pandemi.

Baca Juga: Industri Minuman Ringan Tolak Pengenaan Cukai

Jika tak dibarengi dengan kepastian pasokan bahan baku, maka industri akan selalu bergantung pada impor.

“Mengamankan sustainability bahan baku harus menjadi prioritas utama, karena kita masih bergantung impor. Perbaikan ketersediaan bahan baku perlu didukung di hulu. Tidak bisa industri terus berkembang tanpa perbaikan di hulu,” kata Adhi dalam webinar online, Kamis (7/4/2022).

Sementara ini, untuk memastikan industri terus berputar, laju impor bahan baku diharapkan tak tertahan regulasi. Adhi juga memperingatkan, Rusia dan Ukraina memasok 30 persen kebutuhan gandum dunia.

Baca Juga: Industri Jamu Sukoharjo Harus Inovatif dan Adaptif Posisikan Jamu Sebagai Minuman Gaya Hidup

Jika pasokan dari kedua negara sepenuhnya surut, maka banyak negara di dunia bakal memburu dan berebut sumber gandum.

“Pengurangan 30 persen tentunya akan menjadi kendala luar biasa yang harus diantisipasi, sehingga harga gandum lokal dan internasional beriringan dan kenaikannya cukup tinggi,” ujarnya.

Berdasarkan data Asosiasi Produsen Terigu Indonesia (Aptindo), sumber utama gandum dalam negeri pada 2021 berasal dari Australia yang mencapai 4,48 juta ton atau 40,5 persen. Adapun, impor gandum dari Ukraina mencapai 26,8 persen atau 3,07 juta ton, diikuti Kanada sebesar 17 persen atau 1,88 juta ton.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya