SOLOPOS.COM - Ilustrasi mudahnya mengakses pinjaman online. (freepik)

Solopos.com, JAKARTA – Asosiasi Fintech Syariah Indonesia (AFSI) mengingatkan masyarakat agar berhati-hati memberikan data pribadi agar tidak disalahgunakan untuk keperluan pinjaman online tanpa sepengetahuan pemilik data.

“Hati-hati dalam hal memberikan informasi pribadi karena sangat mungkin pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab mengakses, memanfaatkan data yang ada,” kata Ketua Umum AFSI Ronald Yusuf Wijaya pada acara media breafing menyambut Bulan Fintech Nasional (BFN) di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI) Tower, Jakarta, Rabu (1/11/2023).

Promosi Kinerja Positif, Telkom Raup Pendapatan Konsolidasi Rp149,2 Triliun pada 2023

Ia mengatakan, penyebaran data pribadi warga di Indonesia cukup memprihatinkan. Hal itu disebabkan karena warga belum terlalu peduli terhadap pentingnya perlindungan data pribadi.

“Seolah-olah enggak masalah kita taruh KTP [Kartu Tanda Penduduk] di manapun. Di negara lain, mereka sudah enggak mau karena mereka bisa diambil datanya karena di situ ada nama, alamat, dan lainnya,” katanya.

Data pribadi yang disebarkan secara mudah dapat disalahgunakan oleh oknum tertentu untuk mengakses pinjaman secara daring (online) atau fintech peer to peer lending.

Jika terjadi gagal bayar atau menunggak, maka petugas perusahaan fintech akan menagih kepada pemilik data asli, meskipun tidak melakukan peminjaman.

Ronald mengatakan, terhadap keadaan ini, perusahaan fintech yang legal atau berizin juga mulai mengembangkan teknologi guna menghindari penipuan (fraud).

Ia mencontohkan seperti penerapan pencocokan wajah yang dari berbagai sisi untuk memastikan keaslian gambar.

“Kalau dulu disuruh selfie yah selfie saja, sekarang disuruh untuk memutar untuk make sure bahwa foto yang di KTP dengan kita apakah orang benar atau enggak,” katanya.

Ronald menambahkan, asosiasi perusahaan fintech juga terus melakukan edukasi atau literasi kepada warga untuk melindungi data pribadi, termasuk melalui media sosial maupun pemberitaan.

Di sisi lain,  aduan mengenai financial technologi (fintech) ilegal atau pinjaman online (pinjol) ilegal masih saja muncul. Di Jawa Tengah, berdasarkan data hingga September 2023 laporan itu telah mencapai lebih dari 200 aduan.

Hal itu disampaikan Deputi Direktur Manajemen Strategi EPK dan Kemitraan Pemerintah Daerah OJK Regional III Jateng-DIY, Tias Retnani, dalam Webinar Inklusi Keuangan dengan tema Cerdas Berinvestasi, Siapkan Kemandirian Finansial Sejak Dini, yang digelar Solopos Media Group (SMG), Selasa (31/10/2023).

Dia mengatakan total ada 751 aduan mengenai jasa atau industri keuangan yang masuk di OJK Regional III Jateng-DIY, hingga September 2023. Kemudian dari jumlah itu pengaduan untuk fintech ilegal di Jawa Tengah tercatat mencapai 228 aduan.

“Memang pengaduan akhir-akhir didominasi soal fintech, terkait penagihan yang tidak sesuai, terkait data yang disalahgunakan, soal ketidakjelasan penghitungan tagihan dan lainnya,” kata dia. Hanya, untuk data tersebut memang belum diklasifikasikan secara segmen usia para pengadu.

Seperti diketahui, di lapangan saat ini bukan hanya pinjol legal yang ada. Banyak juga pinjol ilegal yang belakangan disebut banyak merugikan masyarakat.

Berdasarkan informasi yang diunggah di website OJK, sampai dengan 9 Oktober 2023, total jumlah penyelenggara fintech peer-t?o-peer (P2P) lending atau fintech lending yang berizin di OJK yakni sebanyak 101 perusahaan.

Pada website https://ojk.go.id/id juga disampaikan Satuan Tugas Pemberantasan Aktivitas Keuangan Ilegal (sebelumnya dikenal sebagai Satgas Waspada Investasi) dalam operasi siber pada Juli 2023 telah menemukan 283 entitas serta 151 konten pinjaman online ilegal di sejumlah website, aplikasi, dan konten sosial media.

Dengan begitu sejak 2017 hingga 31 Juli 2023, satgas tersebut telah menghentikan 6.894 entitas keuangan ilegal yang terdiri dari 1.193 entitas investasi ilegal, 5.450 entitas pinjaman online ilegal, dan 251 entitas gadai ilegal.

Masyarakat pun diimbau untuk tidak mengakses layanan pinjol ilegal sebab ada beberapa dampak yang bisa saja merugikan. Pada layanan pinjol ilegal tidak ada regulator khusus yang bertugas mengawasi kegiatannya karena memang tidak terdaftar di OJK. Biasanya juga mengenakan biaya dan denda yang sangat besar dan tidak transparan.

Pinjol ilegal juga biasanya akan meminta akses di handphone (HP) pengguna seperti seluruh nomor kontak di HP, foto, storage, dan lainnya. Data-data tersebut kemudian bisa saja disalahgunakan saat melakukan penagihan. Pinjol ilegal juga dikenal tidak mengikuti tata cara penagihan yang beretika dan sesuai aturan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya