SOLOPOS.COM - Ilustrasi perusahaan industri. (Freepik.com).

Solopos.com, SOLO — Setiap tahun di bulan November upah minimum kabupaten/kota (UMK) dan upah minimum provinsi (UMP) mengalami penyesuaian.

Kalangan buruh sudah meminta peningkatan cukup besar mencapai 15 persen untuk tahun 2024.

Promosi Telkom Apresiasi Wahyu, Warrior Telkom Akses yang Viral karena Bantu Petani

Dikutip dari Bisnis.com, Presiden Partai Buruh Said Iqbal mendesak pemerintah menaikkan upah 2024 sebesar 15 persen dalam aksi demo yang digelar di sekitaran Patung Kuda Arjuna Wiwaha, Jakarta Pusat, Senin (25/9/2023).

Pemerintah melalui Permenaker No. 5/2023 menurunkan tingkat upah sebesar 25 persen di perusahaan tertentu.

Harapannya, kenaikan upah tersebut dapat membuat daya beli masyarakat kembali pulih.

Alasan lain mengapa upah buruh 2024 harus naik sekitar 15 persen di antaranya hasil survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dengan rata-rata di angka 10-20 persen.

Dari sudut pandang pengusaha Soloraya, kenaikan UMK sebesar 15 persen sangat berat untuk dipenuhi.

Faktornya beragam mulai dari kondisi perusahaan yang baru saja bangkit dari pandemi Covid-19 hingga tahun pemilu yang dikhawatirkan memberikan gejolak ekonomi.

Adanya kenaikan upah dikhawatirkan akan sejalan dengan meningkatnya jumlah pengangguran karena perusahaan kesulitan memenuhi gaji yang ditetapkan.

Sekretaris Apindo Kota Solo, Sri Saptono Basuki, mengatakan wacana kenaikan UMK dan UMP di 2024 akan memberatkan perusahaan dan berpotensi meningkatkan pengangguran di Soloraya.

Ia berharap, pemerintah bisa hadir dan menjembatani kebutuhan pengusaha dengan pekerja.

“Berat sekali, untuk usaha utamanya yang labour cost, saat ini yang mengalami pertumbuhan hanya sektor tertentu, misal jasa (perhotelan). Coba cek deh angka pengangguran di Soloraya, sementara usaha di Soloraya banyak usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang jelas tidak memakai dasar UMK. Pemerintah harus hadir, bagaimana win win solution ini benar-benar secara positif dan ekonomis tidak menimbulkan masalah, supaya tidak ada penambahan pengangguran, perusahaan tutup, atau radikalnya terjadi deindustrialisasi karena salah kebijakan,” tegasnya kepada Solopos.com, Minggu (29/10/2023).

Basuki melanjutkan, saat ini secara umum di Jawa Tengah sektor industri menyumbang kontribusi pendapatan non migas hingga 61 persen.

Tetapi dengan tingginya kontribusi tersebut masih belum ada perlindungan dunia usaha dari ilegal trade hingga gempuran produk asing.

“Saat ini UMP belum ada informasi tambahan, di Jawa Tengah sektor padat karya ini sumbangsihnya besar dan harus menjadi perhatian serius. Sedangkan gempuran ilegal trade, dan era disrupsi, serta digitalisasi perdagangan membuat semuanya menjadi serba kompleks,” tegasnya.

Ia melanjutkan, pemerintah harus bisa melindungi dunia usaha yang sedang berusaha bangkit pascapandemi.

Basuki mengatakan, situasi global saat ini juga berpengaruh besar terhadap perkembangan kondisi perusahaan di Soloraya sehingga pemerintah harus menyediakan langkah preventif.

“Pemerintah juga harus melindungi dunia usaha, industri dan dunia kerja utk tetap ada dan tumbuh. Kita pernah belajar kondisi extrem saat pandemi Covid-19, sementara sekarangpun kondisi juga tidak baik baik saja. Berbagai produk asing yang masuk ke pada domestik, situasi global yang cenderung semakin berat. Ini harus dipahami semua pihak, pemerintah juga harus menyiapkan mitigasi resiko, di kondisi tahun politik yang berjalan,” lanjutnya.

Basuki menambahkan, adanya reformasi kebijakan untuk membantu industri Soloraya bertransformasi ke dunia digital.

Selain itu, saat ini pengusaha juga sedang melihat kondisi jelang Pemilu 2024.

Basuki berharap adanya aktivitas politik bisa meningkatkan ekonomi.

“Sekarang baru kelihatan perlunya reformasi kebijakan, isu bagaimana kedodoran Kementerian Perdagangan mengatasi transformasi digital termasuk ecommerce. Kementrian Perindustrian juga sedang meratifikasi kebijakan di tengah gempuran impor ilegal, serta terpuruknya pertumbuhan industri di tanah air. Dua tahun ini kita sepertinya masih akan sibuk dengan hajatan nasional, semua wait and see, semoga pesta rakyat nambah perputaran uang yang ada dan ngangkat tambahan daya beli,” tegasnya.

Terpisah, Pengamat Ekonomi Universitas Sebelas Maret (UNS), Bhimo Rizky Samudro, menilai kenaikan UMK dan UMP harusnya berdasarkan kebijakan ekonomi bukan karena faktor politis.

Menurutnya, kenaikan UMK dan UMP adalah bukti keberpihakan pemerintah kepada kelas pekerja.



“Yang pertama saya ingin melihat kenaikan UMK dan UMP ini jangan dikaitkan dengan tahun politik. Jadikan kenaikan ini ada pertimbangan ekonomi, misalkan di beberapa tahun terakhir kenaikannya tidak signifikan, baru tahun ini ditingkatkan, pertimbangan historis ekonomi bukan politis. Yang kedua saya melihat faktor keberpihakan, selama ini UMP itu dilihat sebagai faktor yang berpihak kepada buruh,” ujarnya.

Bhimo menekankan, pemerintah juga harus melindungi pengusaha dan industri sehingga perlu memberikan insentif bagi beberapa sektor industri yang dirasa perlu bantuan agar tetap bisa beroperasi.

Selain itu, Bhimo menyebut dengan naiknya UMK dan UMP, pekerja juga harus meningkatkan produktifitas.

“Jangan memperberat biaya produksi dari produsen atau keberpihakan ini jangan terlalu ekstrem, misal di suatu daerah ada kenaikan UMP, kemudian beberapa perusahaan harus meningkatkan biaya produksi, selain itu, yang perlu diperhatikan adalah sisi produktifitas pekerja juga. UMP boleh naik, tapi ada insentif dari pemerintah unutk sektor tertentu, artinya pemerintah harus memetakan sekror mana yang perlu disokong, entah fasilitas atau infrastruktur agar tidak memperberat, satu sisi berpihak pada buruh yang satu sisi kepada produsen,” tegasnya.

Bhimo juga menggarisbawahi, adanya perusahaan nakal yang tidak memberikan insentif pemerintah kepada pekerjanya.

Akibatnya, produktifitas pekerja tidak optimal dan output yang dihasilkan kalah bersaing dengan produk luar negeri.

“Saya lihat ada namanya prekariat, atau pekerja yang rentan, sehingga tidak produktif, selama ini perusahan yang masuk ke Indonesia menerima karyawan domestik, tapi mereka di sektor yang diberikan pemerintah enggak sampai ke buruh hanya pemodal, akhirnya buruh tidak berkembang. Ketika ada kebijakan kenaikan UMP, buruh seolah-olah dilindungi tapi insentif dari pemerintah enggak sampai ke buruh, sehingga SDM disebut sebagai prekariat atau pekerja yang rentan jadi eggak produktif, outputnya akhirnya enggak bagus,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya