Bisnis
Senin, 11 Maret 2024 - 21:44 WIB

Akademisi Ungkap 3 Cara Adaptasi Perubahan Iklim pada Pertanian Pangan

Bayu Jatmiko Adi  /  Rohmah Ermawati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi petani padi. (Freepik)

Solopos.com, SOLO–Untuk mendukung ketahanan pangan, dibutuhkan pengelolaan pangan yang berkelanjutan. Di mana pengelolaan pangan berkelanjutan bertujuan mengantisipasi munculnya cuaca ekstrem yang bisa berpengaruh pada produksi pangan.

Jika melihat data Badan Pusat Statistik (BPS), dari tahun 2015 hingga tahun 2017, produksi padi meningkat dari 69 juta ton ke 81 juta ton Gabah Kering Giling (GKG). Namun sejak 2018, produksi padi menurun drastis, yakni hanya 56,54 juta ton di tahun itu. Kemudian titik terendah di 2023 sebesar 53,63 juta ton.

Advertisement

Faktor yang menyebabkan menurunnya produksi padi selain perubahan iklim yang ekstrem, yakni karena berkurangnya luasan lahan sawah yang dipicu oleh alih fungsi lahan.

Merujuk hal tersebut, Dosen dan Peneliti Pangan di Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung, Angga Dwiartama, menyoroti sistem pangan di Indonesia.

Advertisement

Merujuk hal tersebut, Dosen dan Peneliti Pangan di Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung, Angga Dwiartama, menyoroti sistem pangan di Indonesia.

Pada diskusi daring bertema Bahan Pokok Mahal: Pentingnya Keberlanjutan Pangan di Tengah Krisis Iklim, Selasa (5/3/2024), dia menyampaikan sistem pangan di Indonesia, khususnya padi, sangat rentan dengan guncangan iklim seperti El Nino. Meskipun ada faktor lain juga seperti alih fungsi lahan dan lainnya yang bisa berdampak.

Menurutnya, perlu upaya khusus untuk mengatasi hal itu. Dia pun menyampaikan beberapa rekomendasi utama untuk adaptasi perubahan iklim dalam sektor pertanian pangan.

Advertisement

Selanjutnya, dengan melihat mayoritas petani padi Indonesia termasuk dalam kategori petani kecil yang rentan terhadap guncangan, untuk itu perlu adanya peningkatan akses terhadap sumber daya pertanian yang mencukupi. Di antaranya terkait lahan, air, dan sarana produksi.

Ketiga, perlunya penguatan kapasitas masyarakat perdesaan secara luas melalui praktik adaptasi perubahan iklim.

“Masyarakat perdesaan tidak hanya tentang pertanian, dan pemahaman yang lebih luas tentang strategi penghidupan dan praktik adaptasi perubahan iklim di pedesaan dapat memperkuat ketangguhan masyarakat terhadap perubahan iklim,” kata dia dalam rilis yang dikutip Senin (11/3/2024).

Advertisement

Sementara itu Koordinator Bidang Analisis Variabilitas Iklim, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Supari, menyampaikan proyeksi iklim di tahun 2024. Menurut Supari, el nino diprediksi akan berakhir pada April tahun 2024, kemudian ada indikasi munculnya la nina pada semester kedua 2024.

Supari mengatakan selama 10 tahun terakhir, Indonesia lebih sering menghadapi iklim ekstrem baik itu El Nino, La Nina, maupun IOD. Menurutnya, jika La Nina benar akan hadir pada 2024, maka musim kemarau akan terjadi dengan sifat lebih basah.

Hal itu akan berdampak baik untuk tanaman padi karena air tercukupi. Namun berbeda dengan kondisi hortikultura seperti sayuran dan cabai karena curah hujan yang berlebihan. “Kita mau tidak mau harus memahami bahwa kondisi iklim, entah itu El Nino atau La Nina akan ada sektor pangan yang terdampak,” kata dia.

Advertisement

Dia menegaskan pentingnya memahami informasi iklim ekstrem untuk mengurangi risiko dan dampaknya. Pemerintah perlu meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai literasi iklim, khususnya bagi para petani yang sebagian besar terdiri dari generasi muda.

“Sehingga mereka melek teknologi informasi dan itu merupakan peluang untuk memberikan pemahaman pada setiap petani untuk mengurangi dampak risiko iklim ekstrem,” ungkapnya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif