SOLOPOS.COM - Ilustrasi upacara pernikahan. (Freepik.com)

Solopos.com, SOLO — Sekali dalam seumur hidup sering terdengar sebagai jargon perayaan pernikahan. Hal itu mendorong sejumlah orang yang merayakan pernikahan dengan meriah dan besar-besaran.

Fenomena ini menurut Dosen Sosiologi Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Siti Zunariyah tidak terlepas dari masalah budaya.

Promosi Telkom dan Scala Jepang Dorong Inovasi Pertanian demi Keberlanjutan Pangan

Ketika berbicara tentang pernikahan, lanjut Siti, dinilai sebagai sesuatu yang sakral. Secara kultural, hal ini sangat berkaitan dengan identitas seseorang, yakni mereka yang telah menjalani babak baru dalam fase kehidupan.

Siti menyebut, menikah dianggap menjadi salah satu fase penting dalam hidup.

“Dalam orang Jawa dikenal ada istilah, tiga hal yang jadi rahasia Tuhan, jadi kelahiran, pernikahan, dan kematian. Jadi ketika masuk tahapan pernikahan jadi penting dalam kehidupan masyarakat Jawa, karena salah satu rahasia Tuhan telah terpecahkan,” terang dia kepada Solopos.com, pada Rabu (4/10/2023).

Apalagi dengan pernikahan adat Jawa, banyak rangkaian-rangkaian yang cukup rumit yang selesai dalam sehari. Ia menilai secara budaya, pernikahan menunjukkan identitas sosial.

Oleh sebab itu, menikah berkaitan dengan representasi seseorang, yaitu harus menunjukkan status sosial yang tinggi.

Di sisi lain, serangkaian pernikahan yang rumit memang berbanding lurus dengan budget yang harus dikeluarkan. Anggaran akan semakin besar ketika status sosial masyarakat makin tinggi.

“Seolah-olah nilai atau norma tidak tertulis gitu yang tertanam konsekuensi dari budget cukup tinggi, menjadi konsekuensi sehingga orang akan merasa puas,” paparnya.

Situasi ini semacam ini mmebuat seolah-olah kesadaran palsu. Orang-orang mengikuti hal ini seolah menjadi kehendak sosial, yang kadang terasa mengikat secara paksa.

Dalam era budaya populer menjadi meluas dan diproduksi dengan berbagai macam hal informasi di media sosial. Oleh sebab itu, media sosial menjadi wadah bagi status sosial yang ingin ditunjukkan kepada publik.

Sosiolog Kota Solo, Drajat Tri Kartono menguraikan mahalnya biaya pernikahan disebabkan dari aspek reputasi atau capital simbolik.

Orang yang menggelar hajatan ingin menunjukkan jamuan yang dihadirkan sesuai dengan kelasnya.

“Pernikahan di Indonesia, khususnya di Jawa bukan sekadar dua orang yang saling mencintai, tapi itu urusan dua keluarga, yang pastinya keluarga besar,” ungkapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya